Senin, 16 Januari 2017

MASYARAKAT MADANI

DESKRIPDI MATERI:  MASYARAKAT MADANI 
PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). 
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman- Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15 yang artinya:
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem


sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. 
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai- nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185). 
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya. 
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
KEBERDAYAAN MASYARAKAT MADANI Pembahasan soal State and Civil Society selalu dikaitkan dengan rekomendasi mengenai pentingnya agenda People’s Empowerment atau biasa


diterjemahkan dengan istilah “Pemberdayaan Masyarakat”. Namun istilah pemberdayaan masyarakat ini menurut kami kurang tepat, karena mengesankan tindakan yang datang dari atas. Sama dengan konsep partisipasi yang seringkali diselewengkan dengan mobilisasi, istilah pemberdayaan juga bisa berubah penerapannya di lapangan menjadi mobilisasi. Karena itu, kita sebaiknya membedakan pengertian “Mobilised Participation” dengan “Autonomous Participation”, dan antara “Mobilised Empowerment” menjadi “Autonomous Empowerment”. Karena itu, istilah yang lebih tepat digunakan untuk menerjemahkan perkataan “People Empowerment” tersebut adalah “keberdayaan masyarakat”, bukan “pemberdayaan masyarakat”. Yang cenderung berkonotasi diprakarsai dari atas. Jika prakarsa pemberdayaan itu datang dari atas, maka penerapannya di lapangan sangat mudah berubah dan menyimpang menjadi mobilisasi pemberdayaan (Mobilised Empowerment). Dalam perspektif hubungan antara rakyat dan negara pada zaman sekarang, memang berkembang pandangan “Civil Society” yang di Indonesia dikembangkan melalui gagasan masyarakat madani. Dalam perspektif dikotomis mengenai masyarakat madani atau “civil society” itu, organ Negara (state) seolah dilihat sebagai suatu realitas yang dihadapkan secara kategioris dengan aneka institusi yang hidup di tengah masyarakat. Meskipun rakyat dan masyarakat merupakan elemen yang sejak semula tidak terpisahkan dari pengertian kita mengenai konsep Negara, tetapi pengambilan jarak anatar konsep Negara (state) dan “Civil Society” ataupun pemahaman mengenai wilayah masyarakat “Civil” yang secara langsung diperhadapkan dengan konsep “State” atau wilayah Negara, dianggap oleh para ilmuwan sangat membantu dalam usaha kita memahami hakikat yang sejati berkenaan dengan keberdayaan masyarakat “civil” itu. Dalam pendekatan pertama ini kita seakan dibawa kepada jalan pikiran dikotomis dan memperlawankan keduanya secara ketat. Akan tetapi dalam pandangan yang lain, masyarakat madani dapat dilihat pula sebagai suatu kenyataan hidup yang diasumsikan tumbuh dan berkembang secara mandiri seolah-olah tanpa adanya organ Negara. Organ Negara seolah-olah dilihat hanya sebagai satu diantara berbagai elemen kelembagaan yang secara komplementer sengaja dibentuk oleh warga masyarakat karena kebutuhan


kolektif mereka akan institusi milik bersama itu. Manusia modern memang tidak mungkin melepaskan diri dari apa yang disebut oleh William G. Scott dan David K. Hart sebagai “Organizational Imperatives” yang suka atau tidak dan sadar atau tidak sadar mengharuskan setiap orang terlibat dalam dan mengindentikasikan diri ataupun mengikatkan diri kedalam satuan-satuan komunitas yang terlembagakan dalam berbagai bentuk klub, kelompok, institusi, ataupun organisasi tertentu yang sangat beragam. Baik basis keanggotaannya, keluasan kegiatannya, dan cakupan misinya serta daya ikatnya terhadap para anggotanya. Salah satu institusi atau organisasi itu adalah Negara yang ketikan kita dilahirkan tiba-tiba tanpa disadari telah mengikatkan diri kita menjadi warganya (warga Negara). Secara tradisional, organisasi Negara itu selalu dipahami memiliki daya ‘menguasai’ yang paling kuat kepada warga atau anggotanya bila dibandingkan dengan karakter organisasi yang lain. Akan tetapi, dizaman globalisasi ekonomi sekarang ini muncul saingan yang sangat kuat dari korporasi-korporasi besar yang biasa disebut dengan ‘Multi National Corporations’ atau ‘Perusahaan Lintas Negara’ dengan daya jangkau kekuasaannya yang sangat dominan melalui instrument produk-produk yang dipasarkan kedalam kehidupan umat manusia dimana-mana. Korporasi-korporasi besar itu telah berkembang menjadi semacam saingan bagi organisasi Negara dalam menguasai umat manusia, terlepas dari batas-batas kenegaraan. Oleh karena itu, keberadaan komunitas kewargaan dalam suatu wilayah kehidupan tertentu memang dapat dikaji tersendiri terlepas dari eksistensi organisasi Negara dimana seseorang atau sekelompok orang hidup bersama. Yang diutamakan ketika kita membahas eksistensi komunitas kolektif yang kemudian kita sebut sebagai masyarakat madani itu pertama-tama adalah praktek kemandirian dan keberdayaannya sebagai sebuah komunitas kehidupan. Ia diharapkan dapat tumbuh secara mandiri meskipun tidak mendapat dukungan apa-apa dari kelompok atau kelas social yang biasa disebut pemerintah. Sudah tentu berbagai aspek keberdayaan itu perlu dikembangkan dan memerlukan kondisi serta peluang tersendiri tanpa dihalang-halangi datau dihambat system kekuasaan yangtercermin dalam fungsi-fungsi organisasi kenegaraan justru diperlukan sebagai institusi yang bersifat ‘catality’, ‘facilitating’, dan ‘empowering (autonomously empowering)’ saja. Negara seperti dalam sejarah abad ke 18-19


hanya difungsikan secara minimal sebagai ‘Nachwachtersstaat’ sesuai dengan doktrin “The Best Government is The Least Government’. Secara sistematis peran Negara makin hari makin dikurangi. Baik dalam bidang politik melalui agenda demokratisasi, pemajuan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan hidup, maupun dalam bidang ekonomi melalui agenda deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi fungsi-fungsi Negara kesejahteraan (welfare state). Semua gejala ini terjadi dimana-mana di selruh dunia, termasuk di Indonesia. Karena itu, pengembangan gagasan masyarakat madani yang mandiri itu merupakan suatu keniscayaan sejarah. Akan tetapi, idealitas visi masyarakat madani itu sudah tentutidak perlu samadari satu negeri ke negeri lain. Masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai- nilai keimanan kepada Tuhan dan nilai-nilai tradisi budayanya sendiri tentu meng- ideal-kan cita-cita hidup berkeTuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, para penggagas ide ‘civil society’ di Indonesia berusaha merumuskannya ke dalam gagasan masyarakat madani menurut ukuran-ukuran moral dan cultural yang tersendiri. Bangsa Indonesia tidak mungkin dipisahkan  dari keyakinannya mengenai kemaha-kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Ciri-cirinya tercermin dalam pemahaman mengenai kualitas sumber daya insane yang harus merefleksikan keunggulan, baik dalam keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maupun sekaligus keunggulan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta jati dirinya sebagai elemen perjuangan bangsa. Untuk mewujudkan cita-cita masyarakat madani itu, perlu dikembangkan agenda pembaruan pemahaman keagamaan yang membebaskan, pembangunan kemandirian ekonomi dan kebudayaan bangsa, serta peningkatan kualitas sumber daya insane yang menjadi penentu utama kemajuan bangsa kita di masa depan. 
  Konsepsi Islam dalam Membangun Masyarakat Madani 
Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan terma al-tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian


al-madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan demikian, masyarakat madani mengandung tiga hal, yakni: agama, peradaban, dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin bahwa agama merupakan sumbernya, peradaban sebagai prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. Secara etimologis, madinah adalah derivasi dari kosakata Arab yang mempunyai dua pengertian. Pertama, madinah berarti kota atau disebut dengan "masyarakat kota”. Kedua, “masyarakat berperadaban” karena madinah adalah juga derivasi dari kata tamaddun atau madaniyah yang berarti “peradaban”, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai civility dan civilization. Kata sifat dari kata madinah adalah madani (Sanaky, 2002:30). Adapun secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas Muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasul Allah SAW dan diikuti oleh keempat al-Khulafa al-Rasyidun. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Nabi Muhammad SAW tersebut identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau civility. Model masyarakat ini sering dijadikan model masyarakat modern, sebagaimana yang diakui oleh seorang sosiolog Barat, Robert N. Bellah, dalam bukunya The Beyond of Belief (1976). Bellah, dalam laporan penelitiannya terhadap agama-agama besar di dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin Rasul Allah SAW itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya, karena masyarakat Islam kala itu telah melakukan lompatan jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya (Hatta, 2001:1).  Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut, dengan cara: pertama, membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda, yaitu Quraisy dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai solidaritas keagamaan. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah. Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).


Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid. Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain. Nabi SAW menghadapi realitas pluralitas, karena dalam struktur masyarakat Madinah yang baru dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan Majusi—ditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak (polytheis). Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan akidah yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasi lainnya.  Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa kelompok yang didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar, musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang majemuk atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan munculnya persoalan- persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi sistem persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur penduduk madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur kehidupan dan hubungan antarkomunitas, yang merupakan komponen masyarakat majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di dunia.  Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama.


Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-hak individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan (al-'adalah), tidak membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai kemajemukan.  Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu mempersatukan mereka. Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga, mereka menerima Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang berlaku atas  seluruh individu dan setiap kelompok. Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadi ummah wahidah. Oleh karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam mencipatakan suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.  Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal yang dapat mendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur kemanusiaan sangat dominan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik (Bahri, 2001). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik golongan yang menerima risalah tauhid beliau maupun yang menolak. Perbedaan akidah atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu-padu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu,


gagasan dan praktik membentuk satu umat dari berbagai golongan dan unsur sosial pada masa itu merupakan sesuatu yang baru, yang belum pernah dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun sehingga seorang penulis Barat, Thomas W Arnold menganggapnya sebagai awal dari kehidupan berbangsa dalam Islam, atau merupakan kesatuan politik dalam bentuk baru yang disatukan oleh Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Konstitusi Piagam Madinah, yang berjumIah 47 pasal itu (Sukardja, 1995:47-57), secara formal mengatur hubungan sosial antarkomponen dalam masyarakat. Pertama, antar sesama Muslim. Bahwa sesama Muslim itu satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas Muslim dengan non-Muslim didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama. Dari Piagam Madinah ini, setidaknya ada dua nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau fundamental dalam mendirikan dan membangun negara Madinah. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawah wa al-’adalah). Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip ini, ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai humanis universal lainnya, seperti konsistensi (iltizam), seimbang (tawazun), moderat (tawassut), dan toleransi (tasamuh). Kesemuanya menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam menjalin hubungan sosial-kemasyarakatan yang mencakup semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi maupun hukum. Pada masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran kelompok- kelompok masyarakat cukup besar dalam pengambilan keputusan, sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Tetapi seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masa Nabi kemudian berkembang menjadi “sistem teokrasi”. Negara, dalam hal ini dimanifestasikan dalam figur Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada Nabi SAW, dan ketaatan umat kepada Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak ada kemandirian lembaga masyarakat berhadapan dengan negara.  Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan besar yang cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru

10 
meletakkan nilai-nilai dan norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kemajemukan yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung keterlibatan masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan secara musyawarah.  Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi melainkan “nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk supremasi syariat. Namun peran masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal itu mengindikasikan mulai terbangunnya masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan rekrutmen kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual. Tetapi, setelah masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, situasi mulai berubah, peran masyarakat mengalami penyusutan, rekrutmen pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar keturunan. Lembaga keulamaan merupakan satu-satunya lembaga masyarakat madani yang masih relatif independen. Pada masa kekhilafahan, yakni dari masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sampai menjelang runtuhnya Dinasti Ustmani akhir abad ke-19, umat Islam telah memiliki struktur religio-politik (politik berbasis agama) yang mapan, yakni lembaga legislatif dipegang oleh ulama. Mereka memiliki kemandirian dalam berijtihad dan menetapkan hukum. Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat madani yang bernilai peradaban itu dibangun setelah Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi dan transformasi pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum pada masa Nabi SAW. Posisi Piagam Madinah adalah sebagai kontrak sosial antara Nabi Muhammad SAW dengan penduduk Madinah yang terdiri dari pendatang Quraisy, kaum lokal Yastrib, dan orang-orang yang menyatakan siap berjuang bersama mereka. Posisi Rasul SAW adalah sebagai pimpinan yang mereka akui bersama, dan telah meletakkan Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya penjanjian tersebut, dalam konteks teori politik, disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Di dalamnya, terdapat pasal-pasal yang menjadi hukum dasar sebuah negara kota yang kemudian disebut Madinah (al-Madinah al-

11 
Munawarah atau Madinah al-Nabi). Nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat Madinah saat itu pastilah nilai-nilai Islami yang tertuang di dalam Piagam Madinah. Kontrak sosial yang dilakukan Nabi SAW itu dinilai identik dengan teori Social Contract dari Thomas Hobbes, berupa perjanjian masyarakat yang menyatakan sumber kekuasaan pemerintah adalah perjanjian masyarakat. Pemerintah memiliki kekuasaan, karena adanya perjanjian masyarakat untuk mengurus mereka. Teori Social Contract J.J. Rousseau bahwa otoritas rakyat dan perjanjian politik harus dilaksanakan untuk menentukan masa depan rakyat serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa atas nama kepentingan rakyat, juga identik dengan teori Nabi Muhammad SAW ketika membangun ekonomi dengan membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi SAW itu sebenarnya identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau peradaban. Nabi SAW menjadikan masyarakat Madinah pada saat itu sebagai classless society (masyarakat tanpa kelas), yakni tidak membedakan antara si kaya dan si miskin, pimpinan dan bawahan—di mana seluruhnya sama dan sejajar di hadapan hukum. Dari uraian di atas, secara terminologis masyarakat madani yang berkembang dalam konteks Indonesia setidaknya berada dalam dua pandangan, yakni: masyarakat Madinah dan masyarakat sipil (civil society). Keduanya tampak berbeda, tetapi sama. Berbeda, karena memang secara historis keduanya mewakili budaya yang berbeda, yakni masyarakat Madinah yang mewakili historis peradaban Islam. Sedangkan masyarakat sipil adalah hasil dari peradaban Barat, seperti telah dipaparkan di atas. Perbedaan lainnya, masyarakat Madinah menjadi tipe ideal yang sangat sempurna, karena komunitas masyarakat dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.  Apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran masyarakat sipil, maka masyarakat madani hanya bertahan di era empat al-Khulafa’ al-Rasyidun. Setelah itu, masyarakat Islam kembali kepada masa monarki, di mana penguasaan negara (state power) kembali menjadi besar, dan peran masyarakat (society participation) menjadi kecil. Oleh sebab itu, ketiga prinsip yang

12 
dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai elemen penting terbentuknya “masyarakat madani”, yaitu masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia, bersifat mandiri secara kultural-politik-ekonomi, memiliki pemerintahan sipil, memiliki prinsip kesederajatan dan keadilan, serta prinsip keterbukaan. Timbul pertanyaan, nilai substansial seperti apakah yang dapat mewakili kecenderungan masyarakat Madinah? Apabila dikaji secara umum, setidaknya nilai subtansial dari semangat Islam dalam pemberdayaan masyarakat mencakup tiga pilar utama, yakni: musyawarah (syura), keadilan (‘adl), dan persaudaraan (ukhuwwah). Sedangkan masyarakat sipil (civil society) bermula dari semangat dan pergumulan pemikiran masyarakat Barat untuk mengurangi peranan negara (state) dalam kehidupan masyarakat. Seperti diketahui bahwa pada abad pertengahan masyarakat Barat dikuasai oleh dua kekuatan yang sangat dominan, yakni gereja dan kerajaan-kerajaan. Sehingga para sejarahwan Barat menyebutnya sebagai Abad Kegelapan (the Dark Ages). Selanjutnya, muncul gerakan perlawanan dari para ilmuwan yang menghadirkan gerakan sekularisme dan humanisme, di mana mereka menyatakan lepas dari keyakinan gereja, dan manusia dianggap sebagai pusat segalanya (antrophosentris). Dengan demikian, ada konsep baru yang ditawarkan Nabi SAW bahwa negara itu melampaui batas-batas wilayah geografis. Negara itu lebih cocok dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan (basic values of humanity), sebab yang menjadi dasar utama kewarganegaraannya bukan nasionalisme, suku, ras atau pertalian darah. Tetapi manusia dapat memilih konsep hidup tertentu atau akidah tertentu. Manusia secara bebas dan merdeka menentukan pilihan akidahnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak mana pun dan oleh siapa pun. Negara baru yang dibangun Nabi SAW adalah negara ideologi yang didasarkan pada asas kemanusiaan yang terbuka, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah:256.  ِِّ غاي ْ نا ال ِ مُدْشُّ نا الر َّ تاباي ْ قاد ِينِِّ ي الد ِ رااها ف ْكِ ا إ لَ “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.”

13 
Dengan demikian, konsep negara yang ditawarkan Nabi SAW benar-benar baru dan orisinil, karena negara menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Di dalam Q.S. al-Saba’:15, Allah SWT mengilustrasikan profil masyarakat ideal sebagai berikut:  ٌ ورُ غاف ٌّ واراب ٌ باة ِِّ طاي ٌ داة ْ بال "Sebuah negeri yang aman sentosa dan masyarakatnya terampuni dosanya." Istilah masyarakat madani, menurut sebagian kalangan, pertama kali dicetuskan oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia.1[10] Jika ditelusuri lebih jauh, istilah itu sejatinya berasal dari bahasa Arab dan merupakan terjemahan dari al-mujtama al-madany. Jika demikian, besar kemungkinan bahwa istilah yang dicetuskan oleh Naquib al-Attas diadopsi dari karakteristik masyarakat Islam yang telah diaktualisasikan oleh Rasulullah  di Madinah, yang kemudian disandingkan dengan konteks kekinian.  
Istilah tersebut kemudian diperkenalkan di Indonesia oleh Anwar Ibrahim— yang saat itu menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia—pada Festival Istiqlal September 1995. Dalam ceramahnya, Anwar Ibrahim menjelaskan secara spesifik terkait karakteristik masyarakat madani dalam kehidupan kontemporer, seperti multietnik, kesalingan, dan kesedian untuk saling menghargai dan memahami.2[11] Inilah yang kemudian mendorong beberapa kalangan intelektual Muslim Indonesia untuk menelurkan karya-karyanya terkait wacana masyarakat madani. Sebut saja di antaranya adalah Azyumardi Azra dalam bukunya "Menuju Masyarakat madani" (1999) dan Lukman Soetrisno dalam bukunya "Memberdayakan Rakyat dalam Masyarakat Madani" (2000). 
Kemudian di dalam ranah pemikiran Islam belakangan ini, substansi, karakteristik, dan orientasi masyarakat madani yang sesungguhnya seperti kehilangan jejak, Menguat dugaan, hal ini memang sengaja dilakukan oleh beberapa kalangan untuk mereduksi nilai-nilai Islam yang ideal. Setidaknya integrasi konsep masyarakat madani terhadap konsep civil society mengindikasikan
                                                            

14 
kalau diskursus tersebut mengalami pembiasan esensi dan proses integrasinya pun cenderung kompulsif. Inilah kemudian yang menjadi alas an utama betapa perlunya menghadirkan kembali dan menarasikan secara utuh, ide-ide dalam masyarakat madani yang pernah diaktualkan Rasulullah di Madinah dalam pembahasan ini. Sehingga tidak ada lagi tumpang-tindih konsepsi yang mengaburkan cara pandang dan pemahaman khalayak terhadap diskursus ini. 
Pandangan Keagamaan dan Reorientasi Nilai Kemajuan 
Agama dan paham ketuhanan harus diakui biasanya sangat kuat daya ikatnya kepada para pemeluknya, sehingga pemahaman terhadap konsep-konsep keagamaan sulit berubah karena pengaruh zaman. Kenyataan inilah yang menyebabkan orang yang tidak memiliki penghayatan keagamaan yang memadai mudah larut dalam gelombang pragmatisme zaman, lal menafikan sama sekali pentingnya agama dalam kehidupan modern. Apalagi jika mereka itu harus berhadapan dengan kaum idealis yang cenderung sangat puritan dan ‘jumud’ dalam pemahaman keagamaan. Untuk sekedar menyebut contoh, tokoh-tokoh ilmuwan seperti Karl Marx dan banyak lagi yang lain dapat digolongkan sebagai orang-orang yang terjebak dalam logika zaman yang mendorong orang berpikir makin ‘positivist’ seperti dibayangkan oleh Auguste Comte. Bahkan seorang teolog sepertu Harvey Cox juga pernah percaya akan dalil positivist itu sehingga pada tahung 1970-an sempat menulis buku ‘The Secular City (1996)’ yang menggambarkan berkembangnya kehidupan sarwa benda di kalangan masyarakat modern. Akan tetapi, adalah Harvey Cox juga yang menulis buku ‘Religion In The Secular City (1948)’ yang menggambarkan betapa luasnya gejala spiritualisme baru yang menyertai perkembangan kehidupan modern yang menyebabkan pandangannya sendriri seperti tercermin dalam buku ‘The Secular City’ yang ditulis 18 tahun sebelumnya harus mengalami revisi secara mendasar. 
Oleh karena itu, kita sebaiknya berpikir realistis tentang peran agama dalam kehidupan modern sekarang ini, terutama pandangan kita mengenai corak kehidupan dalam masyarakat madaniseperti tersebut di atas. Dalam pada itu,

15 
pemahaman keagamaan yang ‘jumud’ sudah pasti haruslah ditinggalkan. Diperlukan pemahaman keagamaan yang benar-benar fungsional dalam pembentukan nilai-nilai kemodernan. Agama harus menjadi sumber  inspirasi, pendorong, dan penggerak yang progressife terhadap langkah-langkah kolektif masyarakat kita menuju ke arah kemajuan. Bahkan agama juga harus pula menjadi motor penggerak yang membebaskan akal sehat (liberating force). Tetapi dalam proses pembebasan itu, agama sedapat mungkin tetap memainkan peran moderating dan mediating (moderating and mediating force) yang mempersatukan wajah kemanusiaan kita dalam kehidupan bersama. Semangat demikian inilah yang semestinya dibangun dalam pola keberagamaan masyarakat kita yang dikenal luas sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia. Agama yang kita anut dan yakini haruslah memanusiakan kita sebagai manusia dan sekaligus menausiawan kita sebagai warga bangsa yang plural, sekaligus membawa kita kepada upaya-upaya konkrit ke arah jalan kesejahteraan bersama yang damai dan berkeadilan. 
Karena itu, kalangan tokoh agama kita hendaklah tampil menyejukkan, tetapi sekaligus membawa obor penerang dan menuntut ke arah karya-karya kemanusiaan yang dirasakan manfaatnya di tengah masyarakat. Untuk itu, diperlukan kepeloporan, bukan saja dalam wacana tetapi juga dalam tindakan nyata. Dunia Islam terus menerus terpuruk dan kehilangan elan dan api semangat untuk kemajuan. Alih-alih membawa kepeloporan, kaum Muslimin malah saling bertengkar sendiri di antara sesamanya. Sebagian di antara kita seperti sungguh- sungguh ingin melakukan pembaruan, tetapi ide pembaruan dibungkus hanya sebatas retorika. Ada pula di antara kita yang sepertinya sedang melakukan pembaruan sungguh-sungguh, tetapi terdengar seperti orang yang sedang memasang iklan menjual diri sendiri ke luar negeri. Oleh karena itu, agenda pembaruan pemahaman keagamaan kita yang lebih mencerahkan dan lebih menjanjikan kemajuan, masih harus terus dilanjutkan dengan tema-tema yang lebih konkrit untuk kemajuan bangsa kita di masa depan. Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat madani muncul sebagai reaksi terhadap pemerintahan militeristik yang dibangun oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun, karena adanya

16 
sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan. Pada saat itu organisasi masyarakat dan political societies (masyarakat politik) tidak berdaya menghadapi negara. Kebjakan dan pemilihan pimpinan di setiap elemen tersebut, rezim Soeharto memegang kendali yang sangat kuat sehingga kontrol masyarakat kepada penguasa sangat lemah dan yang terjadi kekuasaan negara sangat kuat dan menjadikan rakyat hanya sebagai pelayan pemerintah, hanya beberapa organisasi masyarakat Islam, seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang memiliki kekuatan kultural sangat besar yang tidak mampu didikte oleh pemerintah. Disini bangsa Indonesia berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani, yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius. Dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif, berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon pemimpin secara jujur-adil, menyikapi media massa secara kritis dan objektif, berani tampil secara profesionalis, berani dan mampu menjadi saksi, memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-cita Indonesia di masa mendatang dan sebagainya.   Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani, karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan  paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Agenda Kemandirian Ekonomi dan Kebudayaan
Satu agenda penting yang mesti kita pikirkan pula dewasa ini adalah kemandirian ekonomi dan kebudayaan yang dapat dijadikan basis bagi kebangunan dan kebangkitan bangsa kita di masa depan. Krisis multi dimensi yang sedang kita

17 
hadapi, tidak mungkin diselesaikan dalam jangka pendek. Telah terbukti bahwa sebagai bangsa, kita tidak dapat hanya mengandalkan dukungan dan bantuan luar negeri. Ketulusan kita untuk bersahabat dengan bangsa-bangsa lain terbukti tidak cukup berhasil mengundang ketulusan dukungan bangsa-bangsa lain kepada kita. Pada saat yang bersamaan justru kita menyaksikan betapa sistem dan tatanan kehidupan global makin hari makin tidak memihak kepada kepentingan negara- negara yang lemah seperti Indonesia. Celakanya, jumlah penduduk kita tergolong besar dan bahkan terbesar keempat di dunia yang justru sangat empuk untuk dijadikan arena pasar bagi produk barang dan jasa dari seluruh dunia. Kita menjadi incaran yang sangat menggiurkan untuk terus menerus dipelihara sebagai konsumen yang patuh, meskipun dengan aturan main yang disadari sangat tidak adil. Melalui jaringan sistem pasar bebas, di satu pihak, perlindungan hak-hak milik intelektual di pihak lain, telah menjerat bangsa kita untuk terus menerus menjadi konsumen. Bahkan, adanya agenda demokratisasi dan pemajuan hak asasi manusia di seluruh dunia, telah membuka pula peluang bagi kekuatan internasional yang dikendalikan oleh satu dua negara untuk melakukan intervensi terang-terangan dan bahkan intervensi yang legal ke dalam kedaulatan hukum negara-negara yang lemah seperti Indonesia. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi kita kecuali berpikir ulang mengenai pentingnya agenda membangun kemandirian, baik dari segi ekonomi maupun kebudayaan. Di tengah gelombang pengaruh globalisasi kehidupan yang cenderung tidak adil dan menindas bangsa-bangsa yang lemah dewasa ini, kebangkitan kembali bangsa kita itu haruslah bertumpu pada kemandirian basis-basis ekonomi dan kebudayaan di daerah-daerah dan bahkan di desa-desa. Oleh karena itu, agenda otonomi pemerintahan daerah dan otonomi masyarakat daerah yang sedang dikembangkan dengan gencar dewasa ini haruslah dimanfaatkan dengan sungguh- sungguh bagi upaya memulihkan dan menumbuhkan sistem demokrasi dan kemandirian ekonomi pedesaan kita di seluruh tanah air. Sudah saatnya bagi kaum cendekiawan untuk melakukan reorientasi dari idealisme vertikal yang cenderung melihat ke atas ke arah idealisme horizontal dengan membiasakan diri melihat ke bawah, ke daerah, dan bahkan ke desa-desa tempat darimana asalkan keluarga dan leluhur kita berasal.

18 
Birokrasi pemerintahan kita, mulai dari pusat sampai ke daerah kabupaten, dalam waktu lima tahun mendatang, akan sangat disibukkan oleh agenda reformasi internal yang luar biasa. Dalam suasana krisis keuangan yang belum juga pulih sekarang ini, anggaran pembangunan pusat dan daerah juga tidak memadai untuk diharapkan dapat membantu rakyat di desa-desa dan di daerah-daerah untuk mengandal-kan peranan pemerintah. Jalan satu-satunya adalah membangun keprakarsaan dan kemandirian dari bawah, dan kaum cendekiawan harus berpikir keras untuk memberikan pelayanan keahlian serta fungsi-fungsi pendampingan terhadap rakyat di desa-desa, baik dalam rangka membangun kemandirian ekonomi maupun dalam menumbuhkan iklim demokratisasi. Hanya dengan begitu, kita dapat berharap bahwa kemandirian bangsa kita di masa depan dapat dibangkitkan dengan berbasis pada kemandirian ekonomi dan sistem demokrasi di daerah-daerah dan di desa-desa di seluruh tanah air. Tantangan Pendidikan dan Kualitas Sumberdaya Insani
Kata kunci yang paling pokok untuk menghadapi semua tantangan tersebut di atas tidak lain adalah perbaikan upaya-upaya pendidikan nasional kita dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya insani di tanah air. Indeks kualitas manusia Indonesia dewasa ini terggolong jauh ketinggalan di bawah, bahkan di antara sesama negara ASEAN sekalipun. Pengalaman selama abad ke-20 telah mengajarkan kepada kita betapa kita tidak mungkin mengandalkan kekayaan sumberdaya alam di tanah air kita yang dalam jangka panjang dapat habis terkuras. Oleh karena itu strategi investasi untuk masa depan yang paling strategis adalah pendidikan. Akan tetapi, kesadaran mengenai pentingnya pendidikan ini masih saja terbatas pada retorika dan kesadaran kognitif kalangan elite. Dalam praktek sampai sekarang, semua orang masih juga memperlakukan pendidikan sebagai selah satu sektor saja dalam perencanaan pembangunan nasional. Anggaran pembangunan pendidikan bangsa kita tergolong paling rendah di ASEAN. Perhatian mengenai pentingnya pendidikan baru sebatas kesadaran kognitif (pengetahuan) tetapi belum sungguh-sunguh menjadi sikap. Itu sebabnya, alokasi anggaran mengenai ini kurang mendapat perhatian. Bahkan ada seorang pejabat tinggi pernah membuat pernyataan bahwa dalam impiannya pada suatu hari nanti kegiatan pendidikan juga merupakan wilayah kegiatan masyarakat yang tidak perlu diurus oleh pemerintah.

19 
Jika kebijakan demikian diwujudkian dalam kenyataan, maka pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi akan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Jika hal ini benar-benar diwujudkan, niscaya akan terjadi malapetaka bagi masa depan Indonesia.  Apalagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah serta situasi krisis ekonomi nasional yang belum juga kunjung pulih sekarang ini, menyebabkan anggaran pendidikan nasional makin berkurang drastis, sementara apresiasi masyarakat dan tokoh-tokoh politik di daerah-daerah tidak menjamin adanya perhatian yang memadai terhadap pentingnya pendidikan. Sebagian terbesar alokasi anggaran, baik yang berasal dari pusat maupun dari anggaran daerah, akan diatur dan ditentukan sendiri oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Padahal, sikap umum yang berkembang di daerah sebagian besar di antaranya cenderung sangat mengutamakan proyek-proyek pembangunan yang bersifat fisik, sehingga sangat mungkin terjadi bahwa program pendidikan dasar di daerah akan terbengkalai yang dapat mempersulit kita membangun pemerataan tingkat pendidikan secara nasional. Hal ini belum lagi dikaitkan dengan persoalan mutu dan relevansi program pendidikan itu sendiri untuk kebutuhan membangun keberdayaan masyarakat kita di daerah-daerah. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk menyadar bahwa politisi kita di daerah-daerah mengenai pentingnya pendidikan dan bahwa kebijakan pendidikan itu perlu dikembangkan sebagai bagian dari upaya membangun kemandirian dan keunggulan masyarakat daerah. Itu sebabnya, sejak beberapa tahun belakangan ini, makin gencar usulan agar di daerah-daerah dapat dikembangkan kebijakan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal (community based education).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar