Senin, 16 Januari 2017

KONSEP HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA

DESKRIPDI MATERI: KONSEP HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA A. Konsepsi Pemerintahan Negara Dalam Perspektif Islam 
         Islam adalah agama dan sekaligus sistem negara yang menjamin tegaknya keadilan
dan mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Dalam merealisasikan tujuan tersebut,
Alqur’an meletakkan kaidah dan prinsip-prinsip umum yang berkaitan dengan negara dan
pemerintahan seperti penegakkan keadilan, penerapan musyawarah, memperhatikan
kesamaan, jaminan hak dan kebebasan berpendapat, dan penetapan solidaritas sosial
secara komprehensif serta hubungan pemimpin dan rakyatnya seperti hak dan kewajiban
timbal balik antara pemimpin dengan rakyatnya. Islam hanya meletakkan kaidah-kaidah
umum dan tidak menetapkan bentuk ataupun aturan terperinci yang berkaitan dengan
kepemimpinan dan pengelolaan negara. Adapun bentuk ataupun model pemerintahan
beserta metode pengelolaannya menjadi ruang lingkup ijtihaj dan proses pembelajaran
kaum Muslimin dengan memperhatikan aspek kemaslahatan dan menyesuaikan
perkembangan zaman. 
         Sebelum menjelaskan prinsip-prinsip utama negara dalam perspektif Islam, lebih
bijak jika kita menjelaskan kedudukan yang saling berkait dan vital negara dan
pemerintahan dalam Islam. Prof. Muhammad Al Mubarak dalam “Nizham al Islam: al
Mulk wad Daulah” menjelaskan terdapat enam alasan pentingnya kedudukan negara dan
pemerintahan dalam Islam berdasarkan sumber dalam Alquran, Sunnah dan praktek
Shahabat:  1. Alqur’an memiliki seperangkat hukum yang pelaksanaannya membutuhkan institusi
negara dan pemerintahan. Diantara seperangkat hukum itu adalah hukum yang


berkenaan dengan pelaksanaan hudud dan qishas, hukum yang berkaitan harta
benda (mal) serta hukum yang menyangkut kewajiban jihad.  2. Alquran meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek aqidah, syari’ah dan
akhlak yang berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum Muslimin.
Pelaksanaan dan pengawasan ketiga prinsip utama dalam peri kehidupan kaum
Muslimin tidak pelak membutuhkan intervensi dan peran negara.  3. Terdapat ucapan-ucapan Nabi yang dapat menjadi istidlal bahwa negara dan
pemerintahan menjadi elemen penting dalam ajaran Islam. Ucapan-ucapan Nabi itu
meliputi aspek imarah (kepemimpinan), al walayah (keorganisasian), al hukmu
(kepemerintahan) dan al qadha (ketetapan hakim). 4. Adanya perbuatan Nabi yang dapat dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-
tugas negara dan kepemerintahan. Nabi mengangkat para gubernur, hakim, panglima
perang, mengirim pasukan, menarik zakat dan rampasan perang, mengatur
pembelanjaan, mengirim duta, menegakkan hudud, dan melakukan perjanjian
dengan negara lain. R. Strothman dalam Encyclopedia of Islam mengatakan, “Islam
adalah fenomena agama politik sebab pendirinya adalah seorang Nabi dan sekaligus
kepala Negara.” 5. Setelah wafatnya Nabi, para shahabat menunda pemakaman Nabi dan bergegas
bermusyawarah memilih pengganti (Khalifah) Nabi. Tindakan para shahabat  ini
menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam dan kesepakatan (ijma’)
mereka dalam hal ini (mengangkat kepemimpinan pengganti Nabi) dapat menjadi
sumber hukum Islam.    6. Hal ikhwah kepemimpinan (imarah) telah menjadi bagian kajian dan pembahasan
para ahli fiqh didalam kitab-kita mereka disepanjang sejarah.  1. Teori Kepemimpinan (Khilafah)
         Khalifah adalah bentuk tunggal dari khulafa yang berarti menggantikan orang lain
disebabkan ghaibnya (tidak ada di tempat) orang yang akan digantikan atau karena
meninggal atau karena tidak mampu atau sebagai penghormatan terhadap apa yang
menggantikannya. Ar Roghib Al Asfahani dalam mufradat mengatakan makna kholafa
fulanun fulanan berarti bertanggung jawab terhadap urusannya secara bersama-sama
dengan dia atau setelah dia. Dalam konteks firman Alloh SWT dalam surat Al Baqoroh,
ayat 20, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah dimuka bumi,” para mufasir
menjelaskan bahwa khalifah Allah adalah para nabi dan orang-orang yang


menggantikan  kedudukan mereka dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, mengatur
urusan manusia dan menegakkan hukum secara adil. Menurut Roghib Asfahani,
penisbatan itu sendiri adalah bentuk penghormatan yang diberikan Allah SWT kepada
mereka.
        Khilafah (kepemimpinan) menjadi isu krusial dan tema sentral dalam sistem politik
Islam. Sedemikian krusialnya isu itu membuat para shahabat menunda pemakaman Nabi
untuk berkumpul di Bani Tsaqifah. Mereka bermusyarah untuk mengangkat pemimpin
(Kholifah) pengganti Nabi. 
Allah SWT berfirman:
         “Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa (khalifah) dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-
orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama
yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang
fasik” (QS.24:55)
Nabi SAW bersabda:
         “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya).
Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi
setelahku, namun akan ada banyak para khalifah. Para sahabat bertanya,‘Wahai
Rasulullah, apa yang anda perintahkan kepada kami?’ Beliau berkata: ‘Tetapilah baiat
yang pertama dan kemudian sesudah itu, penuhilah hak mereka sepenuhnya. Allah akan
meminta pertanggung jawaban mereka” (HR. Bukhari dan Muslim).
            “Sesungguhnya Allah SWT telah memulai perkara tersebut dengan nubuwwah dan rahmat,
kemudian diganti dengan kekhalifahan dan rahmat, namun diganti setelah itu sistem
kerajaan yang zalim. Kemudian diganti setelah itu pemerintahan diktator yang
menghalalkan kebebasan seks, khamer dan sutra. Mereka menang atas itu dan diberi
rezeki sampai menghadap Allah Azza wa Jalla.” (HR. Abu Hurairah)
Terminologi Khilafah sendiri dipakai untuk menjelaskan tugas yang diemban para
pemimpin pasca kenabian. Istilah itu digunakan untuk membedakan sistem kerajaan dan
kepemimpinan diktator. Hal ini menyiratkan bahwa terminologi khilafah yang dimaksud


dalam pelbagai hadist diatas adalah bahwa sistem khilafah ini sejalan dengan prinsip-
prinsip kenabian (nubuwwah). Sistem kepemimpinan ini dibangun dari antitesis sistem
kerajaan dimana kekuasaan berdasarkan pewarisan keluarga (dinasti) ataupun sistem
diktator yang cenderung berbuat zalim dan tidak disukai rakyat. Ibnu Taimiyah dalam
Minhajus Sunnah menjelaskan bahwa “Khulafaur Rasyidin yang berlangsung tiga puluh
tahun adalah kepemimpinan kenabian dan kemudian urusan itu pemerintah beralih ke
Muawiyyah, seorang raja pertama. Al Mulk (raja-raja) adalah orang-yang memerintah
yang tidak mnyempurnakan syarat-syarat kepemimpinan dalam Islam (khilafah).” 
Menurut hemat saya, kepemimpinan dalam perspektif khilafah lebih merefleksikan
pemahaman terhadap nilai dan prinsip kepemimpinan yang benar menurut Islam
ketimbang sebagai sebuah eksistensi maupun bentuk pemerintahan. Khilafah lebih
merupakan substansi nilai yang bersifat tetap ketimbang perincian-perincian institusional
yang bersifat dinamis. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Ibnu Taimiyyah seperti
yang dikemukakan oleh Qomaruddin Khan dalam ”The Political Thought of Ibn Taimiyyah’
bahwa kekhilafahan sebagai prinsip nilai dan idealitas yang diembannya, yakni penegakan
syariah bukan sebagai lembaga pemerintahan. Kekhilafahan sebagai sebuah nilai
setidaknya mengacu kepada dua hal pokok, yakni pertama, kepemimpinan (khilafah) itu
harus merefleksikan  kewajiban meneruskan tugas-tugas pasca kenabian untuk -
meminjam istilah Ibnu Hayyan-  mengatur urusan umat, menjalankan hukum secara adil
dan mensejahterakan umat manusia serta melestarikan bumi. Kedua, kepemimpinan
harus dibangun berdasarkan prinsip kerelaan dan dukungan mayoritas umat, bukan
pendelegasian kekuasaan berdasarkan keturunan (muluk) dan kediktatoran (jabariyah).
Mengutip Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj Assunah, Abu Bakar RA diangkat bukan karena
kedekatannya dengan Rasulullah SAW atau karena dibaiat Umar Ibnul Khatab RA namun
karena diangkat dan dibaiat oleh mayoritas umat Islam. 
Islam tidak menetapkan khilafah seperti institusi politik dengan hirarki dan pola
kelembagaan baku yang rigid dan memiliki otoritas politik tanpa batas seperti laiknya raja.
Ini berarti Islam memberikan keluasan kepada kaum Muslimin untuk merumuskan
aplikasi kekuasaan dan bentuk pemerintahan beserta perangkat-perangkat yang
dibutuhkan dengan memperhatikan faktor kemaslahan dan kepentingan perubahan
zaman. Keluasan tersebut adalah hikmah bagi kaum Muslimin, dimanapun mereka
menemukan maka berhak memungutnya. Rasulullah SAW mengadopsi sistem
administrasi pemerintahan Romawi dan metode pengelolaan kekayaan negara ala


kerajaan Persia. Al Mawardi dalam Ahkamul Sulthaniyyah memiliki pendapat menarik
perihal evolusi menuju penyempurnaan lembaga-lembaga kenegaraan dan
pendelegasian kekuasaan pada masa Khulafaur Rasyidin. Menurutnya, lembaga Qadhi
baru muncul pada masa kepemimpinan amirul mukminin, Ali bin Abi Thalib RA dan
mengalami penyempurnaan pada masa Umawiyyah. Sebelumnya, perkara perselisihan
ditangani langsung oleh Ali namun seiring meluasnya kekuasaan Islam dan mulai
merosotnya integritas moral kaum Muslimin maka diangkat Syuraih RA untuk mengambil
alih peran beliau dalam menyelesaikan perkara. Selanjutnya, penyelesaian perkara
perselisihan ditangani oleh lembaga Qadhi yang diangkat khusus oleh Khalifah. 
Secara garis besar –menurut Al Mawardi- ada 10 tugas pemimpin dalam Islam,
yakni: pertama, menjaga kemurnian agama. Kedua, membuat keputusan hukum di antara
pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, menjaga kemurnian nasab. Keempat, menerapkan
hukum pidana Islam. Kelima, Menjaga keamanan wilayah dengan kekuatan militer.
Keenam, mengorganisir Jihad dalam menghadapi pihak-pihak yang menentang dakwah
Islam. Ketujuh, mengumpulkan dan mendistribusikan harta pampasan perang dan zakat.
Kedelapan, membuat anggaran belanja negara. Kesembilan, melimpahkan kewenangan
kepada orang-orang yang amanah. Kesepuluh, melakukan pengawasan melekat kepada
hirarki dibawahnya, tidak semata mengandalkan laporan bawahannya, sekalipun dengan
alasan kesibukan beribadah. Sementara Ibnu Hazm dalam “Mihal wa an Nihal”
berpendapat bahwa tugas pemimpin adalah menegakkan hukum dan konstitusi,
menyiarkan Islam, memelihara agama dan menggalang jihad, menerapkan syari’ah,
melindungi hak asasi manusia, menyingkirkan kezaliman dan menyediakan kebutuhan
bagi setiap orang. 
a. Karakter Kepemimpinan Islam
         Karakter kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan sipil.
Mandat  kepemimpinan dalam Islam tidak ditentukan oleh Tuhan namun dipilih oleh
umat. Kedaulatan milik Tuhan namun sumber otoritas kekuasaan adalah umat Islam.
Pemimpin tidak memiliki kekebalan dosa (ma’shum) sehingga memungkinkan yang
bersangkutan menggabungkan semua kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif dalam genggamannya. Islam tidak mengenal jenis pemerintahan seperti yang
dilakukan Eropa di abad pertengahan  sebab khalifah dipilih dan dapat diberhentikan oleh
rakyat. Ibnu Hazam menyatakan bahwa para ulama bersepakat (ijma’) perihal wajibnya


khilafah atau imarah (kepemimpinan) dan bahwa penentuan khalifah atau pemimpin
menjadi kewajiban kaum Muslimin dalam rangka melindungi dan mengurus kepentingan
mereka. 
Oleh karena itu, Abu Bakar Ra menolak mendapatkan panggilan khalifah Allah dan
memilih sebutan khalifah rasul karena dia mewakili Nabi dalam menjalankan tugas
kepemimpinan dan sebagai khalifah, beliau juga memahami kekuasaannya bersifat
temporal, yang dipilih dan diawasi rakyat. Dengan demikian, pemimpin bukan wakil Tuhan
dimuka bumi. Dalam kepemimpinan sipil, umat mengontrol dan memberhentikannya.
Semua mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah menyakini bahwa Rasulullah SAW tidak
mencalonkan seorangpun untuk memegang kendali kepemimpinan sepeninggal beliau.
Abu Bakar menjadi khalifah karena dipilih kaum Muslimin bukan karena menggantikan
Nabi SAW menjadi imam shalat. Demikian pula Umar diangkat sebagai khalifah bukan
semata karena diusulkan Abu Bakar namun karena beliau dipilih para sahabat dan dibaiat
mayoritas kaum Muslimin. 
Adapun berkaitan dengan pembagian wewenang kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif dalam pandangan Ali Bahnasawi lebih merefleksikan kebutuhan yang tidak
terelakkan baik dalam perspektif strategis maupun teknis. Nabi SAW sendiri telah
mendelegasikan beberapa aspek legislatif kepada para sahabat dan sepeninggal beliau,
wewenang legislatif dan yudikatif dipisahkan dari tugas kekhalifahan. Kondisi inipula yang
secara alamiah menjadi titik pijak trasformasi sistem peradilan sepanjang pemerintahan
Islam pasca Nabi SAW, seperti adanya lembaga qadhi dan hisbah, mahkamah mazhalim
dan lain-lain. Dalam konteks strategis, pembagian kekuasaan adalah sebagi upaya untuk
mengurangi kemungkinan adanya pelanggaran kekuasaan (abuse of power) sebagai
akibat terkonsentrasinya kekuasaan. Mengutip Lord Acton, “power tends to corupt,
absolute power tends to absolute corrupt”. Tabiat kekuasaan tanpa kendali moral akan
cenderung korup dan menindas maka selain integritas moral dibutuhkan sistem yang
dapat menggaransi tabiat jahat kekuasaan tersebut muncul. 
b. Syarat-Syarat kepemimpinan dalam Islam 
        Secara umum, Alqu’ran mensyaratkan seorang pemimpin diangkat karena factor
keluasan pengetahuan (ilmi) dan fisik (jism) seperti dijelaskan dalam:


“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat
Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami,
padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun
tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah
Telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa."
Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha
luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah:247)
Rasulullah SAW bersabda:
            “Barang siapa mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum Muslimin, lalu
mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan
sesuai daripada orang yang diangkatnya maka dia telah berkhianat kepada Allah dan
Rasulnya.” (HR Hakim)
“jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.”
(HR. Muslim)
Syarat kepemimpinan menurut Ibnu Taimiyyah mencakup dua aspek, yakni qawiy
kekuatan (fisik dan intektual) dan amin (dapat dipercaya). Sedangkan Al Mawardi
menetapkan tujuh syarat kepemimpinan yang mencakup adil, memiliki kemampuan
berijtihaj, sehat jasmani, tidak memiliki cacat fisik yang menghalangi menjalankan tugas,
memiliki visi yang kuat, pemberani dalam mengambil keputusan, memiliki nasab Quraisy.
Ibnu Khaldun sendiri mensyaratkan empat hal yang harus dimiliki pemimpin, yakni: ilmu,
keadilan, kemampuan serta keselamatan indera dan anggota tubuh lainnya. Perihal syarat
nasab Quraisy, Ibnu Khaldun memandang bukan syarat utama dan tidak boleh menjadi
ketetapan hukum yang mengikat.
        Berpijak dari pemahaman umum nash dari Al qur’an dan Sunnah, serta pandangan
ulama, setidaknya ada tiga syarat utama kepemimpinan dalam Islam, yakni integrasi
aspek keluasan ilmu, integritas moral (kesalihan individual) dan kemampuan profesional.
Yang dimaksudkan keluasan ilmu, seorang pemimpin tidak hanya mampu menegakkan
keadilan berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah syariah, namun juga mampu berijtihaj
dalam merespon dinamika sosial politik yang terjadi ditengah masyarakat. Sementara
kesalihan adalah kepemilikan sifat amanah, kesucian dan kerendahan hati dan istiqomah
dengan kebenaran. Adapun professional adalah kecakapan praktis yang dibutuhkan
pemimpin dalam mengelola urusan politik dan administrasi kenegaraan. 


Jika tidak dipenuhi keseluruhan syarat-syarat tersebut maka diperintahkan
mengambil yang ashlah (lebih utama). Misalnya, jika kaum Muslimin dihadapkan kepada
situasi untuk memilih salah satu dari dua pilihan yang buruk, yakni antara seorang
pemimpin yang shalih namun tidak cakap dengan seorang pemimpin yang cakap namun
kurang shalih maka menurut Ibnu Taimiyyah hendaknya didahulukan memilih pemimpin
yang cakap sekalipun kurang salih.  Karena seorang pemimpin yang salih namun tidak
cakap maka kesalihan tersebut hanya bermanfaat bagi dirinya namun ketidakcakapannya
merugikan masyarakat sebaliknya pemimpin yang cakap namun kurang shalih maka
kecakapannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat sementara ketidaksalihannya
merugikan dirinya sendiri.   
2. Teori Imamah Islam Syi’ah 
Pengertian Imamah menurut ulama Syi’ah, bahwa kepemimpinan spiritual atau
rohani, pendidikan, agama dan politik bagi umat Islam telah ditentukan Allah secara
turun-temurun (theo monarchi) sampai imam ke-12. Sementara menurut al-Hilly, salah
seorang ulama Syi’ah, imamah merupakan kepemimpinan umum dalam urusan dunia dan
agama, oleh seseorang maupun beberapa orang, sebagai pengganti kepemimpinan Nabi
SAW. Muhammad Al-Husein Ali Kasyiful Ghita’, juga mengatakan dalam bukunya Ashlusy-
Syi’ahwa Ushuluha, masalah Imamah merupakan dasar utama yang hanya dimiliki oleh
Syi’ah Imamiyah dan menjadikan Syi’ah Imamiyah berbeda dari aliran-aliran dalam Islam
lainnya. Ia adalah perbedaan yang bersifat dasar atau asasi, perbedaan lainnya hanya
furu’iyah, tak ubahnya dengan perbedaan antarMadzahib (Hanafi, Syafi’i dan lain-lain).
Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa Imamah semata-mata ialah anugerah Tuhan yang
telah dipilih Allah dari zaman azali terhadap hambaNya, seperti Allah memilih Nabi dan
memerintahkan kepada Nabi untuk menyampaikan kepada umat agar mereka
mengikutinya. Syi’ah Imamiah berkeyakinan bahwa Allah telah memerintahkan kepada
Nabi Muhammad SAW untuk menentukan ‘Ali r.a dan mengangkatnya sebagai pemimpin
umat manusia setelah beliau   
3. Teori Imamah 


 Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata imam. Kata imam sendiri
berasal dari kata “amma” yang berarti “menjadi ikutan”. Kata imam berarti “pemimpin
atau contoh yang harus diikuti, atau yang mendahului”. Orang yang menjadi pemimpin
harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh dan ikutan. Kedudukan imam sama
dengan penanggung jawab urusan umat.
 Dalam al-Quran, kata imam (bentuk tunggal) dipergunakan sebanyak 7 kali, dan kata
a‘immah (bentuk plural) 5 kali dengan arti dan maksud yang bervariasi sesuai dengan
penggunaanya. Bisa bermakna jalan umum (Q.S. Yasin/36: 12); pedoman (Q.S. Hud/11:
7); ikut (Q.S. al-Furqan: 74); dan petunjuk (Q.S. al-Ahqaf/46: 12). Begitu pula dalam makna
pemimpin, kata ini merujuk pada banyak konteks, seperti pemimpin yang akan dipanggil
Tuhan bersama umatnya untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan mereka (Q.S.
al-Isra/17: 71); pemimpin orang-orang kafir (Q.S. at-Taubah/9: 12); pemimpin spiritual
atau para rasul yang dibekali wahyu untuk mengajak manusia mengerjakan kebajikan,
mendirikan salat, menunaikan zakat, yaitu Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya‘qub (Q.S. al-
Anbiya/21: 73); pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum ataupun dalam arti negatif
(Q.S. al-Qasas/28: 5 dan 41); dan pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah
Allah Swt (Q.S. as-Sajadah/32: 24).
Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan bahwa kata imam yang berarti
pemimpin, bisa digunakan untuk beberapa maksud, yaitu pemimpin dalam arti negatif
yang mengajak manusia kepada perbuatan maksiat, pemimpin dalam arti luas dan
bersifat umum, dan pemimpin yang bersifat khusus yakni pemimpin spiritual.
Kata imam yang berarti pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum bisa digunakan
untuk sebutan pemimpin pemerintahan atau pemimpin politik (sekuler), dan bisa pula
untuk pemimpin agama. Sedangkan dalam arti pemimpin yang bersifat khusus, yakni
sebagai pemimpin spiritual, bisa saja berimplikasi politik karena dipengaruhi oleh
tuntutan keadaan. Karena, pada kenyataannya, upaya melaksanakan ajaran agama dalam
kehidupan bermasyarakat dalam ajaran Islam, tidak hanya menyangkut pribadi tapi juga
kehidupan kolektif, sebab itu, urusan seorang imam bisa berdimensi politis.
Nabi Muhammad saw. misalnya, pada awalnya lebih berfungsi sebagai nabi dan rasul
dalam makna sempit, yakni pemimpin spiritual yang menerima wahyu untuk disampaikan
kepada umat manusia. Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, pada periode
Madinah, kedudukan beliau mulai bersifat politis, sebab beliau juga melaksanakan tugas

10 
politik dan pemerintahan sebagai pemimpin atau kepala negara bagi masyarakat
Madinah.
Secara istilah, imam adalah seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan
agama dan juga urusan dunia sekaligus. Dengan demikian Islam tidak mengenal
pemisahan mutlak agama dan negara, dunia dan akhirat, mesjid dan istana, atau ulama
dan politikus. Inilah yang menjadikan penganut syiah, tidak hanya memandang para imam
sebagai pengajar agama, tetapi juga sebagai pengatur segala urusan umat yang
berhubungan dengan pranata-pranata sosial, politik, keamanan, ekonomi, budaya, dan
seluruh kebutuhan interaksi umat lainya. 
B. HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA 
1. Konsep Relasi Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Barat (Non-
Muslim) 
Politik bangsa barat tidak terlepas dari peradaban Kristiani. Sebelumnya,
peradaban bangsa barat mengalami fase kelam. Fase ini dikenal dengan abad kegelapan
di Eropa yang dipenuhi pertumpahan darah karena perang saudara-agama, pengekangan
kebebasan, anti-intelektualisme, daan maraknya takhayul serta paham itasionalisme.
Namun demikian, berkat para pemuka agama kristen yang reformis, keadaan menjadi
berbalik arah, dan masa pencerahan segera tiba.
Puncak sumbangan Kristiani terhadap peradaban Barat adalah peranan agama ini
dalam melahirkan gerakan reformasi protestan. Dengan tokohnya antara lain Luther,
Zwingli, dan calvin. Reformasi iini kemudian menjadi tonggok penting sejara pemikiran
dan peradaban Barat.  Sejarah membuktikan doktrin reformasi Protestan ini berdampak
pada perilaku ekonomi orang – orang kristen di barat. 
Peradaban romawi juga mempengaruhi perkembangan politik barat. Gagasan barat
mengenai negara, kekuasaan politik, keadilan dan demokrasi secara intelektual bisa
dilacak dari tradisi politik Yunani Klasik yang dinamakan polis atau city states. Sumbangan
terbesar peradaban Romawi terhadap Barat yaitu pada bidang hukum dan lembaga-
lembaga politik. Tradisi keilmuan Yunani-Romawi telah memberikan Barat metode-
metode eksperimental dan spekulatif yang peranannya sangat fundamental empirisme
dan rasionalisme. Ada tiga bentuk pemikiran hukum Romawi yang mempengaruhi

11 
pemikiran hukum Barat Ius Civile, Ius Gentium dan Ius Naturale. Romawi membuat
pemikiran spekulatif Yunani yang bisa diterapkan. Dari segi pemikiran politik, Romawi
memberikan pemahaman kepada Barat tentang teori imperium. Berupa kekuasaan dan
otoritas negara, equal rights (hak persamaan politik), governmental contract (kontrak
pemerintah).  
2. Konsep Relasi Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Islam 
Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat
dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan
paradigma sekularistik: 
a.  Paradigma Integralistik
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang
menyatu (integrated). Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu
lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak
mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Paradigma integralistik ini dianut
oleh kelompok Islam Syi’ah. 
b.  Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami
salingmembutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya,
negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan
moral, etika, dan spiritualitas. 
c. Paradigma Sekularistik
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara agama dan
negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan
dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur tangan).  

12 
Dalam Islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup panjang
di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut Azyumardi Azra, perdebatan ini
telah belangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. lebih lanjut
Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara
diilhami oleh hubungan yang agak canggung dalam Islam sebagai agama dan negara.
Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dan konsep kultur politik
masyarakat muslm, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam. 
Samir Amin mengungkapkan bahwa selayaknya dunia Islam melakukan diferensiasi
antara utopia – utopia yang muncul di masa lalai dan mengekspresikan konflik sosial
antarkalangan yang dieksploitir, penguasa yang dizalimi, dan kalangan yang menyeru
pada gerakan – gerakan kontemporer untuk mendirikan Negara Islam. Hanya saja
menurut Amir, sejarah yang benar membukktikan bahwa penyatuan agama dan
kekuasaan tidak terwujud kecuali pada masa – masa belakangan dari perkembangan
masyarakat Islam. 
C. HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA DI INDONESIA
 Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini di ilhami oleh hubungan yang agak canggung antara islam. Sebagai agama (din) dan negara (dawlah), agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga politik dan sekaligus lembaga agama Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas Islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. 
1. Hubungan Antagonistik Agama dan Negara 
Hubungan Antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan
antar negara dengan islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah Pada masa
kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai
pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi
tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan

13 
melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945
dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu
gerakan islam dan nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang
bersekolah di Belanda.Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa
terkesan dengan kemajuan teknis di Barat.Pada waktu itu pengetahuan agama sangat
dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu
menyelesaikan berbagai persoalan.Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis
mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran
agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu.Akibatnya, aktivispolitik Islam
gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada
dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik
“minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat
dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal
hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika
elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia
merdeka.
Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan
negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada
upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-
an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada
sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru ( kurang
lebih pada 1967-1987). Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan
antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial
dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki
ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi
dalam menjalankan pemerintahan 
2. Hubungan Sinergistik Agama dan Negara
Hubungan yang menjadikan agama sebagai sumber nilai untuk membangun karakter
suatu negara. Sehingga melahirkan generasi muda beragama dan berwawasan
kebangsaan. Upaya mensinergikan antara pendidikan agama, pendidikan

14 
kewarganegaraan dan pembangunan karakter bangsa bisa dilakukan degan  menjadikan
agama sebagai sumber nilai  untuk membangun karakter bangsa sehingga melahirkan
pendidikan agama yang berwawasan kebangsaan. Dengan demikian, umat beragama 
(peserta didik) akan menjadi umat yang saleh sekaligus menjadi warga negara yang baik.
Untuk menjadikan umat beragama (peserta didik) menjadi umat yang saleh sekaligus
menjadi warga negara yang baik memerlukan sejumlah langkah sebagai berikut: 1. menentukan nilai apa saja yang akan dijadikan acuan bagi pembentukan karakter
bangsa.  2. menjadikan agama  tidak hanya diajarkan sebagai system ketuhanan/ system ritus
maupun system nilai/norma social tapi juga diajarkan sebagai bagian dari upaya
menguatkan karakter bangsa. 3. pembuatan atau penyempurnaan kurikulum pendidikan agama yang  bertujuan
membentuk karakter bangsa serta pembuatan atau penyempurnaan kurikulum
pendidikan kewarganegaraan yang berbasis nilai agama. 4. pembuatan bahan ajar atau modul-modul tentang pendidikan karakter berbasis
nilai agama yang akan dijadikan supelemen bagi pendidikan agama maupun
pendidikan kewarganegaraan. 5. melakukan pelatihan atau lokakarya penerapan kurikulum pendidikan agama
berwawasan kebangsaan dan pendidikan kewarganegaraan berbasis nilai agama 
yang diikuti oleh guru pendidikan agama dan guru pendidikan kewarganegaraan. 6. uji coba dan evaluasi secara berkala dan berkelanjutan sehingga  ditemukan
formula yang lebih tepat dalam mensinergikan pendidikan agama, pendidikan 
kewarganegaraan dan pembangunan karakter bangsa. Akan tetapi mengingat
kunci pengembangan karakter dalam hidup adalah adanya kerendahan hati untuk
berubah, maka upaya mensinergikan pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan pembangunan karakter bangsa  akan berhasil bila didukung
oleh kemuan semua pihak untuk berubah dan memperbaiki diri. 
Sinergi adalah saling mengisi dan melengkapi perbedaan untuk mencapai hasil lebih
besar daripada jumlah bagian perbagian. Konsep bersinergi diantaranya adalah sebagai
berikut: 1. Berorientasi pada hasil dan positif 2. Perspektif beragam mengganti atau melengkapi paradigm

15 
3. Saling bekerjasama dan bertujuan sama serta adanya kesepakatan 4. Saling efektif diusahakan dan merupakan suatu proses 
Melalui sinergi, kerjasama dari paradigma (pola pikir) yang berbeda akan
mewujudkan hasil lebih besar dan efektif sehubungan proses yang dijalani menunjukkan
tujuan yang sama dan kesepakatan demi hasil positif. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar