Senin, 16 Januari 2017

MASYARAKAT MADANI

DESKRIPDI MATERI:  MASYARAKAT MADANI 
PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). 
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman- Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15 yang artinya:
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem


sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. 
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai- nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185). 
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya. 
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
KEBERDAYAAN MASYARAKAT MADANI Pembahasan soal State and Civil Society selalu dikaitkan dengan rekomendasi mengenai pentingnya agenda People’s Empowerment atau biasa


diterjemahkan dengan istilah “Pemberdayaan Masyarakat”. Namun istilah pemberdayaan masyarakat ini menurut kami kurang tepat, karena mengesankan tindakan yang datang dari atas. Sama dengan konsep partisipasi yang seringkali diselewengkan dengan mobilisasi, istilah pemberdayaan juga bisa berubah penerapannya di lapangan menjadi mobilisasi. Karena itu, kita sebaiknya membedakan pengertian “Mobilised Participation” dengan “Autonomous Participation”, dan antara “Mobilised Empowerment” menjadi “Autonomous Empowerment”. Karena itu, istilah yang lebih tepat digunakan untuk menerjemahkan perkataan “People Empowerment” tersebut adalah “keberdayaan masyarakat”, bukan “pemberdayaan masyarakat”. Yang cenderung berkonotasi diprakarsai dari atas. Jika prakarsa pemberdayaan itu datang dari atas, maka penerapannya di lapangan sangat mudah berubah dan menyimpang menjadi mobilisasi pemberdayaan (Mobilised Empowerment). Dalam perspektif hubungan antara rakyat dan negara pada zaman sekarang, memang berkembang pandangan “Civil Society” yang di Indonesia dikembangkan melalui gagasan masyarakat madani. Dalam perspektif dikotomis mengenai masyarakat madani atau “civil society” itu, organ Negara (state) seolah dilihat sebagai suatu realitas yang dihadapkan secara kategioris dengan aneka institusi yang hidup di tengah masyarakat. Meskipun rakyat dan masyarakat merupakan elemen yang sejak semula tidak terpisahkan dari pengertian kita mengenai konsep Negara, tetapi pengambilan jarak anatar konsep Negara (state) dan “Civil Society” ataupun pemahaman mengenai wilayah masyarakat “Civil” yang secara langsung diperhadapkan dengan konsep “State” atau wilayah Negara, dianggap oleh para ilmuwan sangat membantu dalam usaha kita memahami hakikat yang sejati berkenaan dengan keberdayaan masyarakat “civil” itu. Dalam pendekatan pertama ini kita seakan dibawa kepada jalan pikiran dikotomis dan memperlawankan keduanya secara ketat. Akan tetapi dalam pandangan yang lain, masyarakat madani dapat dilihat pula sebagai suatu kenyataan hidup yang diasumsikan tumbuh dan berkembang secara mandiri seolah-olah tanpa adanya organ Negara. Organ Negara seolah-olah dilihat hanya sebagai satu diantara berbagai elemen kelembagaan yang secara komplementer sengaja dibentuk oleh warga masyarakat karena kebutuhan


kolektif mereka akan institusi milik bersama itu. Manusia modern memang tidak mungkin melepaskan diri dari apa yang disebut oleh William G. Scott dan David K. Hart sebagai “Organizational Imperatives” yang suka atau tidak dan sadar atau tidak sadar mengharuskan setiap orang terlibat dalam dan mengindentikasikan diri ataupun mengikatkan diri kedalam satuan-satuan komunitas yang terlembagakan dalam berbagai bentuk klub, kelompok, institusi, ataupun organisasi tertentu yang sangat beragam. Baik basis keanggotaannya, keluasan kegiatannya, dan cakupan misinya serta daya ikatnya terhadap para anggotanya. Salah satu institusi atau organisasi itu adalah Negara yang ketikan kita dilahirkan tiba-tiba tanpa disadari telah mengikatkan diri kita menjadi warganya (warga Negara). Secara tradisional, organisasi Negara itu selalu dipahami memiliki daya ‘menguasai’ yang paling kuat kepada warga atau anggotanya bila dibandingkan dengan karakter organisasi yang lain. Akan tetapi, dizaman globalisasi ekonomi sekarang ini muncul saingan yang sangat kuat dari korporasi-korporasi besar yang biasa disebut dengan ‘Multi National Corporations’ atau ‘Perusahaan Lintas Negara’ dengan daya jangkau kekuasaannya yang sangat dominan melalui instrument produk-produk yang dipasarkan kedalam kehidupan umat manusia dimana-mana. Korporasi-korporasi besar itu telah berkembang menjadi semacam saingan bagi organisasi Negara dalam menguasai umat manusia, terlepas dari batas-batas kenegaraan. Oleh karena itu, keberadaan komunitas kewargaan dalam suatu wilayah kehidupan tertentu memang dapat dikaji tersendiri terlepas dari eksistensi organisasi Negara dimana seseorang atau sekelompok orang hidup bersama. Yang diutamakan ketika kita membahas eksistensi komunitas kolektif yang kemudian kita sebut sebagai masyarakat madani itu pertama-tama adalah praktek kemandirian dan keberdayaannya sebagai sebuah komunitas kehidupan. Ia diharapkan dapat tumbuh secara mandiri meskipun tidak mendapat dukungan apa-apa dari kelompok atau kelas social yang biasa disebut pemerintah. Sudah tentu berbagai aspek keberdayaan itu perlu dikembangkan dan memerlukan kondisi serta peluang tersendiri tanpa dihalang-halangi datau dihambat system kekuasaan yangtercermin dalam fungsi-fungsi organisasi kenegaraan justru diperlukan sebagai institusi yang bersifat ‘catality’, ‘facilitating’, dan ‘empowering (autonomously empowering)’ saja. Negara seperti dalam sejarah abad ke 18-19


hanya difungsikan secara minimal sebagai ‘Nachwachtersstaat’ sesuai dengan doktrin “The Best Government is The Least Government’. Secara sistematis peran Negara makin hari makin dikurangi. Baik dalam bidang politik melalui agenda demokratisasi, pemajuan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan hidup, maupun dalam bidang ekonomi melalui agenda deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi fungsi-fungsi Negara kesejahteraan (welfare state). Semua gejala ini terjadi dimana-mana di selruh dunia, termasuk di Indonesia. Karena itu, pengembangan gagasan masyarakat madani yang mandiri itu merupakan suatu keniscayaan sejarah. Akan tetapi, idealitas visi masyarakat madani itu sudah tentutidak perlu samadari satu negeri ke negeri lain. Masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai- nilai keimanan kepada Tuhan dan nilai-nilai tradisi budayanya sendiri tentu meng- ideal-kan cita-cita hidup berkeTuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, para penggagas ide ‘civil society’ di Indonesia berusaha merumuskannya ke dalam gagasan masyarakat madani menurut ukuran-ukuran moral dan cultural yang tersendiri. Bangsa Indonesia tidak mungkin dipisahkan  dari keyakinannya mengenai kemaha-kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Ciri-cirinya tercermin dalam pemahaman mengenai kualitas sumber daya insane yang harus merefleksikan keunggulan, baik dalam keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maupun sekaligus keunggulan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta jati dirinya sebagai elemen perjuangan bangsa. Untuk mewujudkan cita-cita masyarakat madani itu, perlu dikembangkan agenda pembaruan pemahaman keagamaan yang membebaskan, pembangunan kemandirian ekonomi dan kebudayaan bangsa, serta peningkatan kualitas sumber daya insane yang menjadi penentu utama kemajuan bangsa kita di masa depan. 
  Konsepsi Islam dalam Membangun Masyarakat Madani 
Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan terma al-tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian


al-madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan demikian, masyarakat madani mengandung tiga hal, yakni: agama, peradaban, dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin bahwa agama merupakan sumbernya, peradaban sebagai prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. Secara etimologis, madinah adalah derivasi dari kosakata Arab yang mempunyai dua pengertian. Pertama, madinah berarti kota atau disebut dengan "masyarakat kota”. Kedua, “masyarakat berperadaban” karena madinah adalah juga derivasi dari kata tamaddun atau madaniyah yang berarti “peradaban”, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai civility dan civilization. Kata sifat dari kata madinah adalah madani (Sanaky, 2002:30). Adapun secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas Muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasul Allah SAW dan diikuti oleh keempat al-Khulafa al-Rasyidun. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Nabi Muhammad SAW tersebut identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau civility. Model masyarakat ini sering dijadikan model masyarakat modern, sebagaimana yang diakui oleh seorang sosiolog Barat, Robert N. Bellah, dalam bukunya The Beyond of Belief (1976). Bellah, dalam laporan penelitiannya terhadap agama-agama besar di dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin Rasul Allah SAW itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya, karena masyarakat Islam kala itu telah melakukan lompatan jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya (Hatta, 2001:1).  Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut, dengan cara: pertama, membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda, yaitu Quraisy dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai solidaritas keagamaan. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah. Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).


Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid. Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain. Nabi SAW menghadapi realitas pluralitas, karena dalam struktur masyarakat Madinah yang baru dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan Majusi—ditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak (polytheis). Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan akidah yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasi lainnya.  Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa kelompok yang didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar, musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang majemuk atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan munculnya persoalan- persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi sistem persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur penduduk madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur kehidupan dan hubungan antarkomunitas, yang merupakan komponen masyarakat majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di dunia.  Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama.


Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-hak individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan (al-'adalah), tidak membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai kemajemukan.  Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu mempersatukan mereka. Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga, mereka menerima Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang berlaku atas  seluruh individu dan setiap kelompok. Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadi ummah wahidah. Oleh karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam mencipatakan suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.  Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal yang dapat mendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur kemanusiaan sangat dominan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik (Bahri, 2001). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik golongan yang menerima risalah tauhid beliau maupun yang menolak. Perbedaan akidah atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu-padu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu,


gagasan dan praktik membentuk satu umat dari berbagai golongan dan unsur sosial pada masa itu merupakan sesuatu yang baru, yang belum pernah dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun sehingga seorang penulis Barat, Thomas W Arnold menganggapnya sebagai awal dari kehidupan berbangsa dalam Islam, atau merupakan kesatuan politik dalam bentuk baru yang disatukan oleh Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Konstitusi Piagam Madinah, yang berjumIah 47 pasal itu (Sukardja, 1995:47-57), secara formal mengatur hubungan sosial antarkomponen dalam masyarakat. Pertama, antar sesama Muslim. Bahwa sesama Muslim itu satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas Muslim dengan non-Muslim didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama. Dari Piagam Madinah ini, setidaknya ada dua nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau fundamental dalam mendirikan dan membangun negara Madinah. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawah wa al-’adalah). Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip ini, ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai humanis universal lainnya, seperti konsistensi (iltizam), seimbang (tawazun), moderat (tawassut), dan toleransi (tasamuh). Kesemuanya menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam menjalin hubungan sosial-kemasyarakatan yang mencakup semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi maupun hukum. Pada masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran kelompok- kelompok masyarakat cukup besar dalam pengambilan keputusan, sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Tetapi seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masa Nabi kemudian berkembang menjadi “sistem teokrasi”. Negara, dalam hal ini dimanifestasikan dalam figur Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada Nabi SAW, dan ketaatan umat kepada Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak ada kemandirian lembaga masyarakat berhadapan dengan negara.  Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan besar yang cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru

10 
meletakkan nilai-nilai dan norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kemajemukan yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung keterlibatan masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan secara musyawarah.  Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi melainkan “nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk supremasi syariat. Namun peran masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal itu mengindikasikan mulai terbangunnya masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan rekrutmen kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual. Tetapi, setelah masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, situasi mulai berubah, peran masyarakat mengalami penyusutan, rekrutmen pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar keturunan. Lembaga keulamaan merupakan satu-satunya lembaga masyarakat madani yang masih relatif independen. Pada masa kekhilafahan, yakni dari masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sampai menjelang runtuhnya Dinasti Ustmani akhir abad ke-19, umat Islam telah memiliki struktur religio-politik (politik berbasis agama) yang mapan, yakni lembaga legislatif dipegang oleh ulama. Mereka memiliki kemandirian dalam berijtihad dan menetapkan hukum. Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat madani yang bernilai peradaban itu dibangun setelah Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi dan transformasi pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum pada masa Nabi SAW. Posisi Piagam Madinah adalah sebagai kontrak sosial antara Nabi Muhammad SAW dengan penduduk Madinah yang terdiri dari pendatang Quraisy, kaum lokal Yastrib, dan orang-orang yang menyatakan siap berjuang bersama mereka. Posisi Rasul SAW adalah sebagai pimpinan yang mereka akui bersama, dan telah meletakkan Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya penjanjian tersebut, dalam konteks teori politik, disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Di dalamnya, terdapat pasal-pasal yang menjadi hukum dasar sebuah negara kota yang kemudian disebut Madinah (al-Madinah al-

11 
Munawarah atau Madinah al-Nabi). Nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat Madinah saat itu pastilah nilai-nilai Islami yang tertuang di dalam Piagam Madinah. Kontrak sosial yang dilakukan Nabi SAW itu dinilai identik dengan teori Social Contract dari Thomas Hobbes, berupa perjanjian masyarakat yang menyatakan sumber kekuasaan pemerintah adalah perjanjian masyarakat. Pemerintah memiliki kekuasaan, karena adanya perjanjian masyarakat untuk mengurus mereka. Teori Social Contract J.J. Rousseau bahwa otoritas rakyat dan perjanjian politik harus dilaksanakan untuk menentukan masa depan rakyat serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa atas nama kepentingan rakyat, juga identik dengan teori Nabi Muhammad SAW ketika membangun ekonomi dengan membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi SAW itu sebenarnya identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau peradaban. Nabi SAW menjadikan masyarakat Madinah pada saat itu sebagai classless society (masyarakat tanpa kelas), yakni tidak membedakan antara si kaya dan si miskin, pimpinan dan bawahan—di mana seluruhnya sama dan sejajar di hadapan hukum. Dari uraian di atas, secara terminologis masyarakat madani yang berkembang dalam konteks Indonesia setidaknya berada dalam dua pandangan, yakni: masyarakat Madinah dan masyarakat sipil (civil society). Keduanya tampak berbeda, tetapi sama. Berbeda, karena memang secara historis keduanya mewakili budaya yang berbeda, yakni masyarakat Madinah yang mewakili historis peradaban Islam. Sedangkan masyarakat sipil adalah hasil dari peradaban Barat, seperti telah dipaparkan di atas. Perbedaan lainnya, masyarakat Madinah menjadi tipe ideal yang sangat sempurna, karena komunitas masyarakat dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.  Apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran masyarakat sipil, maka masyarakat madani hanya bertahan di era empat al-Khulafa’ al-Rasyidun. Setelah itu, masyarakat Islam kembali kepada masa monarki, di mana penguasaan negara (state power) kembali menjadi besar, dan peran masyarakat (society participation) menjadi kecil. Oleh sebab itu, ketiga prinsip yang

12 
dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai elemen penting terbentuknya “masyarakat madani”, yaitu masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia, bersifat mandiri secara kultural-politik-ekonomi, memiliki pemerintahan sipil, memiliki prinsip kesederajatan dan keadilan, serta prinsip keterbukaan. Timbul pertanyaan, nilai substansial seperti apakah yang dapat mewakili kecenderungan masyarakat Madinah? Apabila dikaji secara umum, setidaknya nilai subtansial dari semangat Islam dalam pemberdayaan masyarakat mencakup tiga pilar utama, yakni: musyawarah (syura), keadilan (‘adl), dan persaudaraan (ukhuwwah). Sedangkan masyarakat sipil (civil society) bermula dari semangat dan pergumulan pemikiran masyarakat Barat untuk mengurangi peranan negara (state) dalam kehidupan masyarakat. Seperti diketahui bahwa pada abad pertengahan masyarakat Barat dikuasai oleh dua kekuatan yang sangat dominan, yakni gereja dan kerajaan-kerajaan. Sehingga para sejarahwan Barat menyebutnya sebagai Abad Kegelapan (the Dark Ages). Selanjutnya, muncul gerakan perlawanan dari para ilmuwan yang menghadirkan gerakan sekularisme dan humanisme, di mana mereka menyatakan lepas dari keyakinan gereja, dan manusia dianggap sebagai pusat segalanya (antrophosentris). Dengan demikian, ada konsep baru yang ditawarkan Nabi SAW bahwa negara itu melampaui batas-batas wilayah geografis. Negara itu lebih cocok dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan (basic values of humanity), sebab yang menjadi dasar utama kewarganegaraannya bukan nasionalisme, suku, ras atau pertalian darah. Tetapi manusia dapat memilih konsep hidup tertentu atau akidah tertentu. Manusia secara bebas dan merdeka menentukan pilihan akidahnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak mana pun dan oleh siapa pun. Negara baru yang dibangun Nabi SAW adalah negara ideologi yang didasarkan pada asas kemanusiaan yang terbuka, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah:256.  ِِّ غاي ْ نا ال ِ مُدْشُّ نا الر َّ تاباي ْ قاد ِينِِّ ي الد ِ رااها ف ْكِ ا إ لَ “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.”

13 
Dengan demikian, konsep negara yang ditawarkan Nabi SAW benar-benar baru dan orisinil, karena negara menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Di dalam Q.S. al-Saba’:15, Allah SWT mengilustrasikan profil masyarakat ideal sebagai berikut:  ٌ ورُ غاف ٌّ واراب ٌ باة ِِّ طاي ٌ داة ْ بال "Sebuah negeri yang aman sentosa dan masyarakatnya terampuni dosanya." Istilah masyarakat madani, menurut sebagian kalangan, pertama kali dicetuskan oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia.1[10] Jika ditelusuri lebih jauh, istilah itu sejatinya berasal dari bahasa Arab dan merupakan terjemahan dari al-mujtama al-madany. Jika demikian, besar kemungkinan bahwa istilah yang dicetuskan oleh Naquib al-Attas diadopsi dari karakteristik masyarakat Islam yang telah diaktualisasikan oleh Rasulullah  di Madinah, yang kemudian disandingkan dengan konteks kekinian.  
Istilah tersebut kemudian diperkenalkan di Indonesia oleh Anwar Ibrahim— yang saat itu menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia—pada Festival Istiqlal September 1995. Dalam ceramahnya, Anwar Ibrahim menjelaskan secara spesifik terkait karakteristik masyarakat madani dalam kehidupan kontemporer, seperti multietnik, kesalingan, dan kesedian untuk saling menghargai dan memahami.2[11] Inilah yang kemudian mendorong beberapa kalangan intelektual Muslim Indonesia untuk menelurkan karya-karyanya terkait wacana masyarakat madani. Sebut saja di antaranya adalah Azyumardi Azra dalam bukunya "Menuju Masyarakat madani" (1999) dan Lukman Soetrisno dalam bukunya "Memberdayakan Rakyat dalam Masyarakat Madani" (2000). 
Kemudian di dalam ranah pemikiran Islam belakangan ini, substansi, karakteristik, dan orientasi masyarakat madani yang sesungguhnya seperti kehilangan jejak, Menguat dugaan, hal ini memang sengaja dilakukan oleh beberapa kalangan untuk mereduksi nilai-nilai Islam yang ideal. Setidaknya integrasi konsep masyarakat madani terhadap konsep civil society mengindikasikan
                                                            

14 
kalau diskursus tersebut mengalami pembiasan esensi dan proses integrasinya pun cenderung kompulsif. Inilah kemudian yang menjadi alas an utama betapa perlunya menghadirkan kembali dan menarasikan secara utuh, ide-ide dalam masyarakat madani yang pernah diaktualkan Rasulullah di Madinah dalam pembahasan ini. Sehingga tidak ada lagi tumpang-tindih konsepsi yang mengaburkan cara pandang dan pemahaman khalayak terhadap diskursus ini. 
Pandangan Keagamaan dan Reorientasi Nilai Kemajuan 
Agama dan paham ketuhanan harus diakui biasanya sangat kuat daya ikatnya kepada para pemeluknya, sehingga pemahaman terhadap konsep-konsep keagamaan sulit berubah karena pengaruh zaman. Kenyataan inilah yang menyebabkan orang yang tidak memiliki penghayatan keagamaan yang memadai mudah larut dalam gelombang pragmatisme zaman, lal menafikan sama sekali pentingnya agama dalam kehidupan modern. Apalagi jika mereka itu harus berhadapan dengan kaum idealis yang cenderung sangat puritan dan ‘jumud’ dalam pemahaman keagamaan. Untuk sekedar menyebut contoh, tokoh-tokoh ilmuwan seperti Karl Marx dan banyak lagi yang lain dapat digolongkan sebagai orang-orang yang terjebak dalam logika zaman yang mendorong orang berpikir makin ‘positivist’ seperti dibayangkan oleh Auguste Comte. Bahkan seorang teolog sepertu Harvey Cox juga pernah percaya akan dalil positivist itu sehingga pada tahung 1970-an sempat menulis buku ‘The Secular City (1996)’ yang menggambarkan berkembangnya kehidupan sarwa benda di kalangan masyarakat modern. Akan tetapi, adalah Harvey Cox juga yang menulis buku ‘Religion In The Secular City (1948)’ yang menggambarkan betapa luasnya gejala spiritualisme baru yang menyertai perkembangan kehidupan modern yang menyebabkan pandangannya sendriri seperti tercermin dalam buku ‘The Secular City’ yang ditulis 18 tahun sebelumnya harus mengalami revisi secara mendasar. 
Oleh karena itu, kita sebaiknya berpikir realistis tentang peran agama dalam kehidupan modern sekarang ini, terutama pandangan kita mengenai corak kehidupan dalam masyarakat madaniseperti tersebut di atas. Dalam pada itu,

15 
pemahaman keagamaan yang ‘jumud’ sudah pasti haruslah ditinggalkan. Diperlukan pemahaman keagamaan yang benar-benar fungsional dalam pembentukan nilai-nilai kemodernan. Agama harus menjadi sumber  inspirasi, pendorong, dan penggerak yang progressife terhadap langkah-langkah kolektif masyarakat kita menuju ke arah kemajuan. Bahkan agama juga harus pula menjadi motor penggerak yang membebaskan akal sehat (liberating force). Tetapi dalam proses pembebasan itu, agama sedapat mungkin tetap memainkan peran moderating dan mediating (moderating and mediating force) yang mempersatukan wajah kemanusiaan kita dalam kehidupan bersama. Semangat demikian inilah yang semestinya dibangun dalam pola keberagamaan masyarakat kita yang dikenal luas sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia. Agama yang kita anut dan yakini haruslah memanusiakan kita sebagai manusia dan sekaligus menausiawan kita sebagai warga bangsa yang plural, sekaligus membawa kita kepada upaya-upaya konkrit ke arah jalan kesejahteraan bersama yang damai dan berkeadilan. 
Karena itu, kalangan tokoh agama kita hendaklah tampil menyejukkan, tetapi sekaligus membawa obor penerang dan menuntut ke arah karya-karya kemanusiaan yang dirasakan manfaatnya di tengah masyarakat. Untuk itu, diperlukan kepeloporan, bukan saja dalam wacana tetapi juga dalam tindakan nyata. Dunia Islam terus menerus terpuruk dan kehilangan elan dan api semangat untuk kemajuan. Alih-alih membawa kepeloporan, kaum Muslimin malah saling bertengkar sendiri di antara sesamanya. Sebagian di antara kita seperti sungguh- sungguh ingin melakukan pembaruan, tetapi ide pembaruan dibungkus hanya sebatas retorika. Ada pula di antara kita yang sepertinya sedang melakukan pembaruan sungguh-sungguh, tetapi terdengar seperti orang yang sedang memasang iklan menjual diri sendiri ke luar negeri. Oleh karena itu, agenda pembaruan pemahaman keagamaan kita yang lebih mencerahkan dan lebih menjanjikan kemajuan, masih harus terus dilanjutkan dengan tema-tema yang lebih konkrit untuk kemajuan bangsa kita di masa depan. Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat madani muncul sebagai reaksi terhadap pemerintahan militeristik yang dibangun oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun, karena adanya

16 
sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan. Pada saat itu organisasi masyarakat dan political societies (masyarakat politik) tidak berdaya menghadapi negara. Kebjakan dan pemilihan pimpinan di setiap elemen tersebut, rezim Soeharto memegang kendali yang sangat kuat sehingga kontrol masyarakat kepada penguasa sangat lemah dan yang terjadi kekuasaan negara sangat kuat dan menjadikan rakyat hanya sebagai pelayan pemerintah, hanya beberapa organisasi masyarakat Islam, seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang memiliki kekuatan kultural sangat besar yang tidak mampu didikte oleh pemerintah. Disini bangsa Indonesia berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani, yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius. Dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif, berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon pemimpin secara jujur-adil, menyikapi media massa secara kritis dan objektif, berani tampil secara profesionalis, berani dan mampu menjadi saksi, memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-cita Indonesia di masa mendatang dan sebagainya.   Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani, karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan  paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Agenda Kemandirian Ekonomi dan Kebudayaan
Satu agenda penting yang mesti kita pikirkan pula dewasa ini adalah kemandirian ekonomi dan kebudayaan yang dapat dijadikan basis bagi kebangunan dan kebangkitan bangsa kita di masa depan. Krisis multi dimensi yang sedang kita

17 
hadapi, tidak mungkin diselesaikan dalam jangka pendek. Telah terbukti bahwa sebagai bangsa, kita tidak dapat hanya mengandalkan dukungan dan bantuan luar negeri. Ketulusan kita untuk bersahabat dengan bangsa-bangsa lain terbukti tidak cukup berhasil mengundang ketulusan dukungan bangsa-bangsa lain kepada kita. Pada saat yang bersamaan justru kita menyaksikan betapa sistem dan tatanan kehidupan global makin hari makin tidak memihak kepada kepentingan negara- negara yang lemah seperti Indonesia. Celakanya, jumlah penduduk kita tergolong besar dan bahkan terbesar keempat di dunia yang justru sangat empuk untuk dijadikan arena pasar bagi produk barang dan jasa dari seluruh dunia. Kita menjadi incaran yang sangat menggiurkan untuk terus menerus dipelihara sebagai konsumen yang patuh, meskipun dengan aturan main yang disadari sangat tidak adil. Melalui jaringan sistem pasar bebas, di satu pihak, perlindungan hak-hak milik intelektual di pihak lain, telah menjerat bangsa kita untuk terus menerus menjadi konsumen. Bahkan, adanya agenda demokratisasi dan pemajuan hak asasi manusia di seluruh dunia, telah membuka pula peluang bagi kekuatan internasional yang dikendalikan oleh satu dua negara untuk melakukan intervensi terang-terangan dan bahkan intervensi yang legal ke dalam kedaulatan hukum negara-negara yang lemah seperti Indonesia. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi kita kecuali berpikir ulang mengenai pentingnya agenda membangun kemandirian, baik dari segi ekonomi maupun kebudayaan. Di tengah gelombang pengaruh globalisasi kehidupan yang cenderung tidak adil dan menindas bangsa-bangsa yang lemah dewasa ini, kebangkitan kembali bangsa kita itu haruslah bertumpu pada kemandirian basis-basis ekonomi dan kebudayaan di daerah-daerah dan bahkan di desa-desa. Oleh karena itu, agenda otonomi pemerintahan daerah dan otonomi masyarakat daerah yang sedang dikembangkan dengan gencar dewasa ini haruslah dimanfaatkan dengan sungguh- sungguh bagi upaya memulihkan dan menumbuhkan sistem demokrasi dan kemandirian ekonomi pedesaan kita di seluruh tanah air. Sudah saatnya bagi kaum cendekiawan untuk melakukan reorientasi dari idealisme vertikal yang cenderung melihat ke atas ke arah idealisme horizontal dengan membiasakan diri melihat ke bawah, ke daerah, dan bahkan ke desa-desa tempat darimana asalkan keluarga dan leluhur kita berasal.

18 
Birokrasi pemerintahan kita, mulai dari pusat sampai ke daerah kabupaten, dalam waktu lima tahun mendatang, akan sangat disibukkan oleh agenda reformasi internal yang luar biasa. Dalam suasana krisis keuangan yang belum juga pulih sekarang ini, anggaran pembangunan pusat dan daerah juga tidak memadai untuk diharapkan dapat membantu rakyat di desa-desa dan di daerah-daerah untuk mengandal-kan peranan pemerintah. Jalan satu-satunya adalah membangun keprakarsaan dan kemandirian dari bawah, dan kaum cendekiawan harus berpikir keras untuk memberikan pelayanan keahlian serta fungsi-fungsi pendampingan terhadap rakyat di desa-desa, baik dalam rangka membangun kemandirian ekonomi maupun dalam menumbuhkan iklim demokratisasi. Hanya dengan begitu, kita dapat berharap bahwa kemandirian bangsa kita di masa depan dapat dibangkitkan dengan berbasis pada kemandirian ekonomi dan sistem demokrasi di daerah-daerah dan di desa-desa di seluruh tanah air. Tantangan Pendidikan dan Kualitas Sumberdaya Insani
Kata kunci yang paling pokok untuk menghadapi semua tantangan tersebut di atas tidak lain adalah perbaikan upaya-upaya pendidikan nasional kita dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya insani di tanah air. Indeks kualitas manusia Indonesia dewasa ini terggolong jauh ketinggalan di bawah, bahkan di antara sesama negara ASEAN sekalipun. Pengalaman selama abad ke-20 telah mengajarkan kepada kita betapa kita tidak mungkin mengandalkan kekayaan sumberdaya alam di tanah air kita yang dalam jangka panjang dapat habis terkuras. Oleh karena itu strategi investasi untuk masa depan yang paling strategis adalah pendidikan. Akan tetapi, kesadaran mengenai pentingnya pendidikan ini masih saja terbatas pada retorika dan kesadaran kognitif kalangan elite. Dalam praktek sampai sekarang, semua orang masih juga memperlakukan pendidikan sebagai selah satu sektor saja dalam perencanaan pembangunan nasional. Anggaran pembangunan pendidikan bangsa kita tergolong paling rendah di ASEAN. Perhatian mengenai pentingnya pendidikan baru sebatas kesadaran kognitif (pengetahuan) tetapi belum sungguh-sunguh menjadi sikap. Itu sebabnya, alokasi anggaran mengenai ini kurang mendapat perhatian. Bahkan ada seorang pejabat tinggi pernah membuat pernyataan bahwa dalam impiannya pada suatu hari nanti kegiatan pendidikan juga merupakan wilayah kegiatan masyarakat yang tidak perlu diurus oleh pemerintah.

19 
Jika kebijakan demikian diwujudkian dalam kenyataan, maka pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi akan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Jika hal ini benar-benar diwujudkan, niscaya akan terjadi malapetaka bagi masa depan Indonesia.  Apalagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah serta situasi krisis ekonomi nasional yang belum juga kunjung pulih sekarang ini, menyebabkan anggaran pendidikan nasional makin berkurang drastis, sementara apresiasi masyarakat dan tokoh-tokoh politik di daerah-daerah tidak menjamin adanya perhatian yang memadai terhadap pentingnya pendidikan. Sebagian terbesar alokasi anggaran, baik yang berasal dari pusat maupun dari anggaran daerah, akan diatur dan ditentukan sendiri oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Padahal, sikap umum yang berkembang di daerah sebagian besar di antaranya cenderung sangat mengutamakan proyek-proyek pembangunan yang bersifat fisik, sehingga sangat mungkin terjadi bahwa program pendidikan dasar di daerah akan terbengkalai yang dapat mempersulit kita membangun pemerataan tingkat pendidikan secara nasional. Hal ini belum lagi dikaitkan dengan persoalan mutu dan relevansi program pendidikan itu sendiri untuk kebutuhan membangun keberdayaan masyarakat kita di daerah-daerah. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk menyadar bahwa politisi kita di daerah-daerah mengenai pentingnya pendidikan dan bahwa kebijakan pendidikan itu perlu dikembangkan sebagai bagian dari upaya membangun kemandirian dan keunggulan masyarakat daerah. Itu sebabnya, sejak beberapa tahun belakangan ini, makin gencar usulan agar di daerah-daerah dapat dikembangkan kebijakan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal (community based education).

GOOD GOVERNACE

DESKRIPDI MATERI:  GOOD GOVERNACE 
A. Pengertian Good Governance
Istilah Good Governance berasal dari induk bahasa Eropa, Latin, yaitu Gubernare yang diserap oleh bahasa inggris menjadi govern, yang berarti steer ( menyetir, mengendalikan), direct (mengarahkan), atau rule (memerintah). Penggunaan utama istilah ini dalam bahasa inggris adalah to rule with authority, atau memerintah dengan kewenangan. Pengertian Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan yang sejalan dengan demokrasi (pemerintahan dari, oleh, dan, untuk rakyat). Governance pada dasarnya pertama kali digunakan adalah di dunia usaha atau korporat. Manajemen professional yang diperkenalkan pasca perang dunia II dengan prinsip dasar “memisahkan kepemilikan dengan kepengelolaan” benar- benar menjadikan setiap korporat menjadi usaha-usaha yang besar, sehat dan menguntungkan. Gerakan ini dimulai secara besar-besaran di Amerika, khususnya setelah para titians entrepreneur mengalami kegagalan besar memeprtahankan kebesaran untuk mepertahankan kebesaran bisnisnya. Salah satu contohnya adalah Henry Ford II gagal mempertahankan kebesaran bisnisnya karena ia tidak mengenal manajemen professional. Ia bahakan tidak mengenal manajemen. 
Definisi Good Governance Menurut Para Ahli
Governance adalah kata sifat dari govern, yang diartikan sebagai the action of manner of governing atau tindakan (melaksanakan) tata cara penegendalian. Sebagai sebuah kata, governance sebenarnya tidaklah baru. Pada tahun 1590 kata ini dipahami sebagai state of being governed, berkembang menjadi mode of living (1600), kemudian menjadi the office, function, or power of governing (1643),


berkembang menjadi method of management, system of regulation (1660) dan kemudian dibakukan menjadi the action or manner governing. Sementara itu, berarti to rule with authority atau mengatur atas nama kewenangan. Pelaksanaannya biasa disebut sebagai government yang selain mempunyai arti sempit sebagai action of ruling and directing the affairs of a state, atau pelaksanaan pengaturan dan pengarahan urusan-urusan negara. Dengan demikian government indentik dengan pengelolaan atau pengurus dengan makna spesifik atau pengurus negara. ( Nugroho,2004:207). 
Bintoro Tjokroamidjojo memandang good governance sebagai suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan, yang menempatkan  peran  pemerintah  sentral  yang   menjadi  agent  of  change  dari    suatu masyarakat berkembang/developing di dalam negara berkembang. Agent of change dan karena perubahan yang dikehendakinya, menjadi planned change (perubahan yang berencana), maka disebut juga agent of development. Agent of development diartikan pendorong proses pembangunan dan perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyek-proyek, bahkan industri-industri, dan peran perencanaan dan anggaran penting. Dengan perencanaan dan anggaran juga menstimulusi investasi sector swasta. Kebijaksanaan dan persetujuan penanaman modal di tangan pemerintah. Dalam good governance peran pemerintah tidak lagi dominan, tetapi juga citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha/ swasta yang berperan dalam good governance. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar untuk menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. 
Pengertian Good Governance menurut Mardiasmo (1999:18) adalah suatu konsep pendekatan yang berorientasi kepada pembangunan sector public oleh pemerintahan yang baik. Lebih lanjut menurut Bank Dunia yang dikutip Wahab (2002:34) menyebut Good Governance adalah suatu konsep dalam penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan investasi yang langka dan pencegahan korupsi  baik secara politik maupun administrative, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Selain itu Bank dunia juga mensinonimkan Good Governance sebagai hubungan sinergis dan konstruktif di antara negara, sector dan masyarakat (Effendi,1996:47). Menurut Bank Dunia (World Bank) Good governance merupakan cara kekuasaan yang digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (Mardoto, 2009). Menurut UNDP (United National Development Planning) Good governance merupakan praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan. Penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. 
Dalam konsep di atas, ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu: a.  Kesejahteraan rakyat (economic governance). b.  Proses pengambilan keputusan (political governance).


c.  Tata laksana pelaksanaan kebijakan (administrative governance) (Prasetijo, 2009).  
Prinsip-prinsip Good Governance 
Berdasarkan pengertian Good Governance oleh Mardiasmo dan Bank Dunia yang disebutkan di atas dan sejalan dengan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan aparatur Negara termasuk daerah adalah perlunya mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan maka menuntut penggunaan konsep Good governance sebagai kepemerintahan yang baik relevan dan berhubungan satu dengan lainnya. Ide dasarnya sebagaimana disebutkan Tangkilisan (2005:116) adalah bahwa Negara adalah institusi yang legal formal dan konstitusional yang menyelenggarakan pemerintahan dengan fungsi sebagai regulator maupun sebagai agent of change. 
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Good governance awalnya digunakan dalam dunia usaha (corporate) dan adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep dalam menciptakan pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen professionalnya maka diterapkan good corporate governance. Sehingga dikenal prinsip- prinsip utama dalam governance korporat yaitu: transparansi, akuntabilitas, fairness, responsibilitas dan responsivitas. (Nugroho,2004:216) 
Transparansi bukan berarti ketelanjangan, melainkan keterbukaan, yakni adanya sebuah sistem yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan   eksternal dari korporasi. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban secara bertingkat ke atas. Dari organisasi manajemen paling bawah hingga dewan direksi, dam dari dewan direksi kepada dewan komisaris. Akuntabilitas secara luas diberikan oleh dewan komisaris kepada masyarakat. Sedangkan akuntabilitas secara sempit dapat diartikan secara financial. Fairness agak sulit diterjemahkan, karena menyangkut keadilan dalam konteks moral. Fairness lebih menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam menjalankan hubungan bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal. 
Responsibilitas adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks ini penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika  korporat, termasuk dalam hal ini etika professional dan etika manajerial. Sementara itu Komite Governansi Korporat di Negara-negara maju menjabarkan prinsip governansi korporat menjadi lima kategori, yaitu: 
1. hak pemegang saham, 2. perlakuan yang fair bagi seluruh pemegang saham, 3. peranan konstituen dalam governansi korporat, 4. pengungkapan dan transparansi dan  5. tanggung jawab dierksi dan komisaris.


Prinsip-prinsip Good Governance di atas cenderung kepada dunia usaha, sedangkan bagi suatu organisasi public bahkan dalam skala Negara prinsip-prinsip tersebut lebih luas menurut UNDP melaui LAN yang dikutip Tangkilisan (2005:115) menyebutkan bahwa adanya hubungan sinergis dan kontruktif di antara Negara, sector swasta dan masyarakat disusun sembilan pokok karakteristik Good Governance yaitu: 
1) Partisipasi  Mendorong setiap warga untuk menggunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilam keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. 
2) Penegakan Hukum Mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian. Menjunjung tinggi HAM & memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 
3) Transparansi Menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. 
4) Responsif Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). 
5) Orientasi Kesepakatan Memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur. 
6) Kesetaraan dan Keadilan Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. 
7) Efektifitas dan Efisiensi Menjamin terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan tanggung jawab. 
8) Akuntabilitas Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. 
9) Visi Strategis Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik


(good governance) dan pembangunan manusia (human development). 
Dalam proses memaknai peran kunci stakeholders (pemangku kepentingan), mencakup 3 domain good governance, yaitu: 1. Pemerintah yang berperan menciptakan iklim politik dan hukum yang kondusif. 2.  Sektor swasta yang berperan menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan. 3.  Masyarakat yang berperan mendorong interaksi sosial, konomi, politik dan mengajak seluruh anggota masyarakat berpartisipasi (Efendi, 2005) Makna dari governance dan good governance pada dasarnya tidak diatur dalam sebuah undang-undang (UU). Tetapi dapat dimaknai bahwa governance adalah tata pemerintahan, penyelenggaraan negara, atau management (pengelolaan) yang artinya kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance itu sendiri memiliki unsur kata kerja yaitu governing yang berarti fungsi pemerintah bersama instansi lain (LSM, swasta dan warga negara) yang dilaksanakan secara seimbang dan partisipatif. Sedangkan good governance adalah tata pemerintahan yang baik atau menjalankan fungsi pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (struktur, fungsi, manusia, aturan, dan lain-lain). Clean government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good corporate adalah tata pengelolaan perusahaan yang baik dan bersih. Governance without goverment berarti bahwa pemerintah tidak selalu di warnai dengan lembaga, tapi termasuk dalam makna proses pemerintah (Prasetijo, 2009). Istilah good governance lahir sejak berakhirnya Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi. Sejak itu pula sering diangkat menjadi wacana atau tema pokok dalam setiap kegiatan pemerintahan. Namun meski sudah sering terdengar ditelinga  legislatif, pengaturan mengenai good governance belum diatur secara khusus dalam bentuk sebuah produk, UU misalnya. Hanya terdapat sebuah regulasi yaitu UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang mengatur penyelenggaraan negara dengan Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik (AUPB) 
. Good governance sebagai upaya untuk mencapai pemerintahan yang baikmaka harus memiliki beberapa bidang yang dilakukan agar tujuaN utamanya dapat dicapai, yang meliputi (Efendi, 2005): 1.  Politik Politik merupakan bidang yang sangat riskan dengan lahirnya masalah karena seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Konsep politik yang kurang bahkan tidak demokratis yang berdampak pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang saat ini terjadi di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistem politik yang kurang demokratis. Maka perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut berbagai masalah penting seperti: a. UUD NRI 1945 yang merupakan sumber hukum dan acuan pokok   penyelenggaraan pemerintahan maka dalam penyelenggaraannya harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya good governance. Konsep good governance itu


dilakukan dalam pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia. b. Perubahan UU Politik dan UU Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat. c.  Reformasi agraria dan perburuhan. d. Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI. 
e.  Penegakan supremasi hokum. 
2.    Ekonomi 
Ekonomi Indonesia memang sempat terlepas dari krisis global yang bahkan bisa menimpa Amerika Serikat. Namun keadaan Indonesia saat ini masih terbilang krisis karena masih banyaknya pihak yang belum sejahtera dengan ekonomi ekonomi rakyat. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Permasalahan krisis ekonomi di Indonesia masih berlanjut sehingga perlu dilahirkan kebijakan untuk segera. 
3.    Sosial Masyarakat yang sejahtera dengan terwujudnya setiap kepentingan masyarakat yang tercover dalam kepentingan umum adalah perwujudan nyata good governance. Masyarakat selain menuntut perealisasikan haknya tetapi juga harus memikirkan kewajibannya dengan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Hal ini sebagai langkah nyata menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun keadaan Indonesia saat ini masih belum mampu memberikan kedudukan masyarakat yang berdaya di hadapan negara. Karena diberbagai bidang yang didasari kepentingan sosial masih banyak timbul masalah sosial. Sesuai dengan UUD NRI Pasal 28 bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang- undang”. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membentuk golongan dengan tujuan tertentu selama tidak bertentangan dengan tujuan negara. Namun konflik antar golongan yang masih sering terjadi sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Maka good governance harus ditegakkan dengan keadaan masyarakat dengan konflik antar golongan tersebut. 
4.    Hukum Dalam menjalankan pemerintahan pejabat negara memakai hukum sebagai istrumen mewujudkan tujuan negara. Hukum adalah bagian penting dalam penegakan good governance. Setiap kelemahan sistem hukum akan memberikan influence terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan, karena good governanance tidak akan dapat  berjalan dengan baik dengan hukum yang lemah. Penguatan sistem hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan dan kalangan kapitalis lainnya. Kenyataan ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.

7  
Mewujudkan Good Governance di Indonesia   Mewujudkan konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan yang baik dan sinergi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk mencapai good governance adalah adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah harus transparan, efektif dan efisien, serta mampu menjawab ketentuan dasar keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan negara yang baik maka harus keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan keputusan (Hunja, 2009). Konsep good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik. Human interest adalah faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”. Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. Negara berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik. Meruju pada 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan ekonomi, lingkungan, dan pembangunan manusia. Good governance menyentuh 3 (tiga) pihak yaitu pihak pemerintah (penyelenggara negara), pihak korporat atau dunia usaha (penggerak ekonomi), dan masyarakat sipil (menemukan kesesuaiannya). Ketiga pihak tersebut saling berperan dan mempengaruhi dalam penyelenggaraan negara yang baik. Sinkronisasi dan harmonisasi antar pihak tersebut menjadi jawaban besar. Namun dengan keadaan Indonesia saat ini masih sulit untuk bisa terjadi (Efendi, 2005). 
Dengan berbagai statement negatif yang dilontarkan terhadap pemerintah atas keadaan Indonesia saat ini. Banyak hal mendasar yang harus diperbaiki, yang berpengaruh terhadap clean and good governance, diantaranya (Efendi, 2005): 1.    Integritas Pelaku Pemerintahan Peran pemerintah yang sangat berpengaruh, maka integritas dari para pelaku pemerintahan cukup tinggi tidak akan terpengaruh walaupun ada kesempatan untuk melakukan penyimpangan misalnya korupsi. 2.    Kondisi Politik dalam Negeri Jangan menjadi dianggap lumrah setiap hambatan dan masalah yang dihadirkan oleh politik. Bagi terwujudnya good governance konsep politik yang tidak/kurang


demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Maka tentu harus segera dilakukan perbaikan. 3.    Kondisi Ekonomi Masyarakat Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. 4.    Kondisi Sosial Masyarakat Masyarakat yang solid dan berpartisipasi aktif akan sangat menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat juga menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun jika masyarakat yang belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan.  
5.    Sistem Hukum Menjadi bagian yang tidak terpisahkan disetiap penyelenggaraan negara. Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Good governanance tidak akan berjalan dengan baik di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. 
Mencari orang yang jujur dan memilik integritas tinggi sama halnya dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang unggul akan berpengaruh baik dengan penyelenggaraan negara. Korupsi yang masih tetap eksis sampai saat ini adalah salahsatu faktor yang mempersulit dicapainya good governance. Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi agenda wajib yang tidak pernah lelah untuk dilakukan. Inilah satu hal yang tidak boleh dilewatkan untuk mencapai pemerintahan yang baik.  Mencegah (preventif) dan menanggulangi (represif) adalah dua upaya yang dilakukan. Pencegahan dilakukan dengan memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government). Jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai. Jaminan yang diberikan jika memang benar-benar bisa disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat (Hardjasoemantri, 2003). 
Good Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah Dalam proses demokratisasi good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberikan ruang partisipasi bagi pihak diluar pemerintah, sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antar negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar ketiga unsur tersebut, bukan hanya memungkinkan terciptanya check and balance, tetapi juga menghasilkan sinergi antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Good Governance sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan good


governance harus memiliki agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai. Untuk kasus Indonesia, agenda good governance harus disesuaikan dengan kondisi riil bangsa saat ini, yang meliputi: 
1. Agenda Politik Masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistim politik yang kurang demokratis. Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut masalah-masalah penting seperti: a. Amandemen UUD 1945 Sebagai sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan pemerintahan, amandemen UUD 1945 harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya good governance seperti pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia. b. Perubahan Undang-Undang Politik dan Undang-Undang Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat. c. Reformasi agraria dan perburuhan d. Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI e. Penegakan supremasi hukum 
2. Agenda Ekonomi Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Mengingat begitu banyak permasalahan ekonomi di Indonesia, perlu dilakukan prioritas-priotitas kebijakan. Prioritas yang paling mendesak untuk pemulihan ekonomi saat ini antara lain:
1. Agenda Ekonomi Teknis.
Otonomi Daerah. Pemerintah dan rakyat Indonesia telah membuat keputusan politik untuk menjalankan otonomi daerah yang esensinya untuk memberikan keadilan, kepastian dan kewenangan yang optimal dalam pengelolaan sumber daya daerah guna memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Agar pelaksanaan otonomi daerah ini berjalan tanpa gejolak dibutuhkan serangkaian persiapan dalam bentuk strategi, kebijakan program dan persiapan institusi di tingkat pusat dan daerah.  Sektor Keuangan dan Perbankan. Permasalahan terbesar sektor keuangan saat ini adalah melakukan segala upaya untuk mengembalikan fungsi sektor perbankan sebagai intermediasi,serta upaya mempercepat kerja BPPN. Kemiskinan dan Ekonomi Rakyat. Pemulihan ekonomi harus betul-betul dirasakan

10 
oleh rakyat kebanyakan. Hal ini praktis menjadi prasarat mutlak untuk membantu penguatan legitimasi pemerintah, yang pada giliranya merupakan bekal berharga bagi percepatan proses pembaharuan yang komprehensif menuju Indonesia baru. 
2. Agenda Pengembalian Kepercayaan 
Hal-hal yang diperlukan untuk mengembalikan atau menaikkan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia adalah kepastian hukum, jaminan keamanan bagi seluruh masyarakat, penegakkan hukum bagi kasus-kasus korupsi, konsistensi dan kejelasan kebijakan pemerintah, integritas dan profesionalisme birokrat, disiplin pemerintah dalam menjalankan program, stabilitas sosial dan politik, dan adanya kepemimpinan nasional yang kuat. 
3. Agenda Sosial Masyarakat yang berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam ini juga akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu agenda untuk mewujudkan good governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki masalah sosial yang sedang dihadapi. Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap kekerasan komunal dapat dilakukan melalui; memberikan santunan terhadap mereka yang terkena korban konflik, mencegah berbagai pertikaian _vertikal maupun horizontal_ yang tidak sehat dan potensial mengorbankan kepentingan bangsa dan mencegah pula segala bentuk anarkhi sosial yang terjadi di masyarakat.  
4. Agenda Hukum Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kekurangan atau kelemahan sistim hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Dapat dipastikan, good governanance tidak akan berjalan mulus di atas sistim hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Otonomi daerah termasuk pemekaran mempunyai tujuan untuk meningkatkan Pelayanan Publik dengan mendekatkan akses pelayanan publik kepada rakyat dan rentang kendali (span of control) birokrasi pemerintahan lokal. Pelayanan publik merupakan strategis untuk memulai menerapkan good governance. Sehingga diasumsikan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut kemudian meningkatkan kesejahteraan rakyat/masyarakat. Suatu logika sederhana, dengan dimilikinya kewenangan mengatur/mengelola pemerintahan sendiri dan mengelola keuangan daerah sendiri serta dengan makin dekatnya akses pelayanan public dan rentang kendali pemerintahan, maka segala kegiatan pemerintahan daerah dimaksudkan agar semakin bersentuhan langsung dengan pemenuhan hak-hak dasar rakyat/masyarakat menuju peningkatan kesejahteraan.

11 
Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana Pemerintah berinteraksi dengan masyarakat. Ini berarti jika terjadi perubahan yang signifikan pada pelayanan publik, dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat luas. Keberhasilan mempraktekkan good governance pada pelayanan publik mampu membangkitkan kepercayaan masyarakat luas bahwa menerapkan good governance bukan hanya sebuah mitos, tetapi menjadi suatu kenyataan. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah. Nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktek good governance seperti efisien, non diskriminatif, dan berkeadilan, berdaya tanggap, dan memiliki akuntabilitas tinggi dapat dengan mudah dikembangkan parameternya dalam ranah pelayanan publik. Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua pihak, Pemerintah mewakili negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar, yang semuanya memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Keberhasilan penguasa dalam membangun legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang baik. Dengan memulai perubahan pada bidang yang dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sipil dan para pelaku pasar, upaya melaksanakan good governance akan memperoleh dukungan dari semua pemangku kepentingan. Dukungan ini sangat penting dalam menentukan keberhasilan karena memasyarakatkan good governance membutuhkan stamina dan daya tahan yang kuat. Tujuan mulia untuk menciptakan kesejahteraan pada daerah otonomi senyatanya secara faktual masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Beberapa kasus membuktikan bahwa ternyata selama perjalanannya, otonomi daerah termasuk pemekaran daerah sebagai solusi untuk peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan tidak terlalu signifikan menunjukkan dampak terhadap perubahan taraf kehidupan masyarakat. Secara politik, rakyat dimanipulir aspirasinya demi, oleh dan untuk kepentingan elit daerah, muncul pula rezim-rezim lokal yang bergaya bak diktator baru atau adipati-adipati penguasa daerah setempat, rezim ini menjadi kelas penguasa baru. Di beberapa daerah malah rezim ini seakan kebal hukum, termasuk kroni-kroninya. Mereka juga yang menguasai sebagian besar aset dan fasilitas, menguasai juga SDA dan sumber daya lainnya. Skor korupsi pun meningkat dan melibatkan struktur yang paling dekat dengan rakyat, mulai dari desa hingga kabupaten-kota. Apa mau dikata, otonomi mewabahkan KKN di tingkat daerah ini, dan ini bukan rahasia umum. Aparatur birokrasinyapun berjalan tidak efektif dan efisien, malah menjadi benalu yang membebani rakyat dan keuangan negara. Dalam konteks ini, proses berotonomipun tidak melahirkan pelayanan publik yang maksimal, malahan birokrasi pemerintahan menjadi cenderung boros, infesiensi, inefektifitas dan sarang korupsi. Masalah lainpun bermunculan, seperti semakin senjangnya kualitas pembangunan manusia, menurunnya kualitas lingkungan dampak rusaknya lingkungan yang diakibatkan dari eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali, bahkan malah makin marak di era otonomi daerah. 

12 
Untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam Otonomi Daerah perlu tiga pendekatan yang harus sekaligus dilakukan:  Pertama adalah menetapkan dan memasyarakatkan pedoman good governance secara nasional, baik untuk kalangan korporasi maupun publik, yang kemudian bisa ditindak lanjuti dengan pedoman sektoral dari masing-masing industri atau bidang kegiatan. Pedoman ini merupakan suatu rujukan yang selalu mengikuti perkembangan jaman. Oleh karena itu, dalam kurun waktu tertentu perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian.   Pendekatan kedua adalah perlu dilakukan penyuluhan, konsultansi, dan pendampingan bagi perusahaan-perusahaan, maupun kantor pemerintah yang bermaksud untuk mengimplementasikan good governance, dengan melakukan kegiatan self assessment, kemudian memasang rambu-rambu pada masing-masing perusahaan atau instansi Pemerintah.   Pendekatan ketiga adalah dengan memperbanyak agen-agen perubah dengan mengembangkan semacam sertifikasi bagi direktur dan komisaris pada perusahaan-perusahaan serta bagi pejabat- pejabat publik. 
Maka langkah-langkah konkret yang harus dilakukan adalah : 
1. Amandemen konstitusi Konflik politik yang terjadi sepanjang riwayat negeri ini, bersumber dari cacatnya konstitusi, baik ditinjau dari sisi kemanusiaan, maupun dalam hubungan antar lembaga demokrasi. 
2. Pembentukan lembaga anti korupsi Lembaga anti korupsi harus juga mampu masuk ke wilayah- wilayah rawan, seperti militer, dan jaringan pejabat tinggi dan tertinggi negara, sebagaimana yang pernah diterapkan di Hong Kong. 
3. Meletakkan lembaga yudisial sebagai lembaga independen Intervensi kekuatan-kekuatan politik atas lembaga seperti MA, masih menunjukkan bahwa utang politik sangat mempengaruhi pengambilan keputusan. Dalam tingkatan paling tinggi, adalah menerapkan prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan (distribution of power), yang dilakukan di pusat dan daerah. Otonomi daerah harus ditingkatkan menjadi otonomi kekuasaan yang berbasiskan local. 
4. Debirokratisasi 
Birokrasi Indonesia adalah sumber kemacetan dalam merespons tuntutan publik, juga lamban dalam menjalankan tugasnya.

13 
Jumlah Pegawai Negeri Sipil yang banyak, menimbulkan inefisiensi, di samping penumpukan tugas di salah satu level birokrasi serta dengan banyaknya birokrat-birokrat yang tidak berkompeten dibidangnya yang direkrut dengan cara spoil system. 
5. Persebaran ilmu pengetahuan. 
Pemberdayaan daerah otonom, juga mesti diimbangi dengan melakukan distribusi ilmu pengetahuan secara bersamaan dan merata. Pemerintahan daerah harus makin banyak mengeluarkan ikatan dinas bagi kalangan mudanya untuk studi di manapun, lalu kemudian kembali ke daerah, terutama untuk bidang manajemen, industri, kelautan, dan agribisnis. 
6. Penumbuhan media massa independen. 
Media massa ini tentunya bersifat nonprofit, berorientasi local, dan langsung menyalurkan berita-berita yang bersifat bottom up, sembari melakukan pendidikan dalam arti luas. 
Semua hal langkah tersebut diharapkan dapat menciptakan good governance dalam pelakasanaan otonomi daerah sehingga peningkatan pelayanan yang berujung pada kesejahteraan masyarakat dapat tercapai sebagaimana mestinya

PENGERTIAN OTONOMI DAERAH

PENGERTIAN OTONOMI DAERAH
Pengertian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara pengertian daerah otonom adalah daerah tertentu pada suatu negara yang memiliki kebebasan dari pemerintah pemerintah pusat di luar daerah tersebut.Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah. Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa:  F. Sugeng Istianto   : “Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah”  Ateng Syarifuddin  : “Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan melainkan kebebasan


yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan”  Syarif Saleh           : “Hak mengatur dan memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut merupakan hak yang diperoleh dari pemerintah pusat”
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda. Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan- urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat


setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu : 1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan diatasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional. 3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri. Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri. Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu : 1. Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijakan  sendiri. 2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya. 3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri. 4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya. 
A. PRINSIP DAN TUJUAN OTONOMI DAERAH


Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas. Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi. Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang. Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22  tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,  agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.


Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :  Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.  Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.  Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.  Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.  Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.  Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.


 Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah  Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya. Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah : a. Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia. b. Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian 
HAKEKAT OTONOMI DAERAH
Hakekat Otonomi Daerah adalah kemandirian rakyat didaerah untuk mengatur penyelenggaran pemerintahan dan melaksanakan pembangunan didaerah. Pada hakikatnya, otonomi daerah mencakup dua hal, yaitu pemberian wewenang dan pemberian tanggung jawab dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat meneurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dalam sistem NKRI. Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, otonomi diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah atau perangkat pusat didaerah. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan sarana, prasarana serta sumber adaya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaanya dan pertanggungjawabnya kepada yang menugaskan. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI. Wilayah administrasi adalah wilayah kerja gubernur selaku wakil pemerintah. Instansi vertical adalah perangkat departemen dan atau lembaga pemerintahan non departemen didaerah pejabat yang berwenang adalah pejabat pemerintah di tingkat pusat dan atau pejabat pemerintah didaerah provinsi yang berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Daerah kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota. Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan atau daerah kota dibawah kecamatan. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sisitem pemerintahan nasional dan berada di lingkup kabupaten. Desentralisi adalah transfer atau perpindahan kewenangan dan tanggung jawab fungsi-funsi public transfer ini dilakukan dari perintah pusat ke pihak lain, baik kepada daerah bawahan, organisasi pemerintahan yang semi bebas ataupun kepada sektor swasta. Selanjutnya, desentralisasi dibagi menjadi 4 yaitu: a. Desentralisasi politik yang bertujan, menyalurkan semangat demokrasi secara positif di masyarakat b. Desentralisasi administrasi, yang memiliki 3 bentuk: 1. Desekontrasi 2. Delegasi 3. Devolusi yang bertujuan agar


penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan efisien. c. Desentralisasi fiscal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk menggali berbagai sumber dana d. Desentralisasi ekonomi/pasar, bertujuan untuk lebih memberikan tanggung jawab yang berkaitan sector public ke sector privat 
Pelaksanaan otonomi daerah juga sebagai penerapan tuntunan globalisasi yang sudah seharusnya lebih memperdayakan daerah dengan cara di berikan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata, dan bertanggung jawab. Terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber sumber potensi yang ada di daerah nya masing masing. Desentralisasi merupakan symbol/ tanda adanya pemerintah pusat kepada daerah. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi daerah mengandung makna: a. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestic pada daerah, kecuali dalam untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan pertahanan, keagamaan , serta seberapa kelayakan pemerintah pusat yang bersifat strategis nasional b. Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah: menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah c. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur(budaya) setempat demi menjamin tampil nya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptibilitas(kepercayaan) yang tinggi d. Peningkatan efektifitas fungsi fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah di desentralisasikan e. Peningkatan efesiensi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber sumber pendapatan Negara.

9  
KEDUDUKAN SERTA PERAN PEMERINTAH PUSAT
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah pusat memiliki tiga fungsi sebagai berikut.  Fungsi Pelayanan Fungsi pelayanan dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara tidak diskriminatif dan tidak memberatkan serta dengan kualitas yang sama. Dalam pelaksanaan fungsi ini pemerintah tidak pilih kasih dan semua orang memiliki hak sama, yaitu hak untuk dilayani, dihormati, diberi kesempatan (kepercayaan), dan sebagainya.  Fungsi Pengaturan Fungsi pengaturan memberikan penekanan bahwa pengaturan tidak hanya kepada rakyat, tetapi kepada pemerintah sendiri. Artinya, dalam membuat kebijakan lebih dinamis yang mengatur kehidupan masyarakat sekaligus meminimalkan intervensi negara dalam kehidupan masyarakat. Jadi, fungsi pemerintah adalah mengatur dan memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam menjalankan hidupnya sebagai warga negara.  Fungsi Pemberdayaan Fungsi pemberdayaan dijalankan pemerintah dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Masyarakat tahu, sadar diri, dan mampu memilih alternatif yang baik untuk mengatasi atau memyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Pemerintah dalam fungsi ini hanya sebbagai fasilitator dan motivator untuk membantu masyarakat menemukan jalan keluar dalam menghadapi setiap persoalan hidup. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional, serta agama. Selain kewenangan tersebut, pemerintah pusat memiliki kewenangan lain, yaitu sebagai berikut.

10 
a. Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro b. Dana perimbangan keuangan c. Sistim administasi negara dan lembaga perekonomian lembaga d. Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia e. Pendayagunaan sumber daya alam dan pemberdayaan sumber daya strategis f. Konservasi dan standarisasi nasional. KEDUDUKAN SERTA PERAN PEMERINTAH DAERAH
1. Kewenangan pemerintah daerah 
Pemerintahan daerah dalam undang-undang no 23 tahun 2014 dalah penyelengaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan republik indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Rpublik Indonesia tahun 1945. Setiap daerah mempunyai wewenang untuk mengelola pemerintahannya sendiri sehingga penyelengaraan pemerintahan dapat disesuaikan dengan kondisi, ciri khas, kemampuan, sera potensi yang memiliki daerah yang bersangkutan. Dengan pemberian wewenang ini, diharapkan proses pembangnunan didaerah dapat berjalan lebih lanjar, efektif dan efisien. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah mempunyai hak-hak sebagai berikut. 1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya 2. Memiliki pemimpin daerah 3. Mengelola aparatur daerah 4. Mengelola kekayaan daerah 5. Memungut pajak dan retribusi daerah 6. Mendapatkan bagi hasil dari pengolahan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah 7. Mendapat sumber-sumber pendapatan lain yang sah

11 
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan peundang- undangan Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan secara luas, utuh, dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pada pemerintahan. Indikator untuk menentukan serta menunjukkan bahwa pelaksanaan kewenangan tersebut berjalan dengan baik, dapat di ukur dari tiga indikasi berikut. 1. Terjaminnya keseimbangan pembangunan diwilayah indonesia, baik berskala lokal maupun nasional. 2. Terjangkaunya layanan pemerintah bagi seluruh penduduk indonesia secara adil dan merata. 3. Tersediannya pelayanan pemerintah yang lebih efektif dan efisien. 
2. Daerah khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi Khusus 
Pasal 18B ayat (1) UUD 19945 menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan dareah yang bersifat khusus atau bersifatistimewa yang diatur dengan undang-undang.” Undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang no 23 tahun 2014 tentang Pmerintahan daerah. Adapun yang dimaksud satuan kesatuan pemerintah daerah yang brsifat khusus adalah daerah uang diberi otonomi khusus, yaitu daerah khusus ibukota jakarta dan provinsi papua. Adapun daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh (Nanggroe Aceh Darusalam) dan Daerah Istimewa Yogyakarta. 
3. Perangkat Daerah sebagai Pelaksana Otonomi Daerah 
Perangkat daerah meliputi perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/daerah, serta lembaga teknis daerah. Adapun perangkat daerah kabupaten/kota terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, serta desa atau kelurahan. 
4. Sekretariat Daerah

12  
Sekretariat daerah merupakan salah satu unsur pemerintahan daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah yang bertugas membantu kepala daerah dalam menyusun  kebijakan serta mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Sekretaris daerah tingkat provinsi diangkat oleh presiden atas asal usul gubernur dan bertanggung jawab kepada bupati atau wali kota dan apabila dalam menjalankan tugasnya dinilai tidak bertanggsung jawab, bupati atau wali kota dapat mengusulkan kepada gubernur untuk memberhentikannya. 
5. Sekretariat DPRD 
Sekretariat DPRD merupakan salah satu perangkat pemerintah daerah yang ditugaskan untuk menjalankan kesekretariatan DPRD, mengoordinaksikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD dalam melaksanakan fungsinya. Sekretaris DPRD provinsi diangkat oleh bupati atau wali kota. Sekretaris DPRD bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. 
6. Dinas Daerah 
Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah yang diangkat oleh kepala daerah atas asal ususl sekretaris daerah.  Dinas daerah dipimpin oleh seorang kepala dinas dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui seketaris daerah. 
7. Lembaga Teknis Daerah 
Lembaga teknis daerah merpakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksabaab kebijakan daerah yang bersifat khusus dan berbentuk badan, kanto, ataupun rumah sakit daerah. 
8. Kecamatan

13  
Kecamatan merupakan  bagian dari wilayah kabupate/kota yang dipimpin oleh seorang camat. Camat diangkat oleh bupati atau wali kota. Dalam melaksanakan tugasnya, camat memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau wali kota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. 
9. Desa atau kelurahan Desa atau kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dan dipimpin oleh kepala desa atau lurah. Kepala desa sebagai pemimpin desa diangkat melalui pemilihan oleh rakyatnya secara langsung, sedangkan lurah sebagai kepala kelurahan diangkat oleh bupati atau wali kota. Kepala desa maupun lrah bertanggung jawab kepada bupati atau wali kota. 
LANDASAN HUKUM PENERAPAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA 
Dalam pasal 18 UUD 1945 mengandung empat pengertian pokok, yaitu: 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut sistem disentralisasi disamping sistem dekonsentrasi. 2. Menghendaki adanya undang-undang organik tentang pemerintah daerah 3. Menghendaki adanya DPRD sebagai cerminan dari pemerintahan demikratis yang dilaksanakan dengan permusyawaratan/perwakilan. 4. Dihormati dan diakuinya hak asal usul dan kedudukan daerah yang bersifat istimewa. 
ASAS PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
a. Asas Disentralisasi

14 
Penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan dengan pelimpahan beberapa urusan pemerintahan dari pemerntah pusat kepada pemerintah daerah sehingga daerah dapat mengurus rumah tangga nya sendiri. Adanya pelimpahan urusan diderah bertujuan agar masyarakat ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. b. Asas Dekonsentrasi Pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah atau perangkat pusat didaerah dalam kerangka negara kesatuan dan lembaga yang melimpahkan wewenang dapat memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai pengambilan atau pembuatan keputusan. c. Asas Medebewind (Tugas Pembantuan) Penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten atau kota atau desa serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 
NILAI, DIMENSI DAN PRINSIP, OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Ada dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 45 berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yaitu : a. Nilai Unitaris
Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat negara. Hal tersebut berarti bahwa kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan negara republik Indonesia tidak akan terbagi diantara kesatuan- kesatuan pemerintahan. b. Nilai Dasar Desentralisasi Teritorial Dari isi dan jiwa pasal 18 UUD 45, jelaslah bahwa pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi dibidang ketatanegaraan. 

15 
Apabila dikaitkan  dengan dua nilai dasar diatas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah otonom dan penyerahan atau pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Sementara titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada daerah tingkat II dengan beberapa dasar pertimbangan sebagai berikut: - Dimensi politik daerah tingkat II dinilai kurang memiliki fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluan berkembang nya aspirasi federalis relatif sediki. - Dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif. - Daerah Tingkat II merupakan daerah ujung tombak pelaksanaan pembangunan sehingga Daerah Tingkat II yang lebih mengerti kebutuhan dan potensi rakyat didaerah nya. 
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, prinsip-prinsip otonomi daerah adalah nyata, bertanggung jawab, dan dinamis. - Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi objktif didaerah. - Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan atau diupayakan untuk memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air. - Dinamis,  pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju . 
Selain itu, terdapat lima prinsip dalam  penyelengaraan pemerintahan daerah  yaitu sbagai berikut:  Prinsip kesatuan, pelaksanaan  otonomi daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakyat guna memperkukuh negara kesatan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan  masyarakat  lokal.  Prinsip rill dan tanggung jawab. Pemberian otonomi daerah haarus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bagi

16 
kepentingan warga  seluruh daaerah. Pemerintah daerah berperan  mengatur pross dinamika pemerintahan dan pembangunan didaerah.  Prinsip penyebaran. Asas desentralisasi perlu dilaksanakan  dengan asas dekonsentrasi. Caranya dengan  memberikan kemungkinan kepada masyarakat untuk kreatif  dalam  membangun daerahnya.  Prinsip keserasian. Selain mengutamakan aspek pendemokrasian, pemberian otonomi kepada daerah juga mengutamakan aspek keserasian dan tujuan.  Prinsip pemberdayaan. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah meningkatkan daya guna dan  hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam aspek pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat serta meningkatkan pembinaaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.  
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Untuk dapat melaksanakan tugas otonomi daerah sebaik-baiknya, ada beberapa factor/syarat yang perlu mendapat perhatian. a. Faktor Manusia Pelaksana
Berhasil tidaknya otonomi daerah sebagian besar tergantung pada Pemerintah Daerah itu sendiri. Sesuai dengan ketantuan Pasal 13 ayat (1) Undang- undang No.5 tahun 1974, maka yang dimaksudkan dengan Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakialan Rakyat Daerah. Partisaipasi masyarakat daerah yang bertindak sebagi subjek pembangunan diaerahnya, disamping memerlukan objek dari pembangunan itu sendiri.
 Kepala Daerah Seperti yang dikatan diatas, peranan kepala daerah sangat penting dalam pelaksaan tugas-tuugas daerah, khhususnya tugas otonomi. Sehubungan bengan

17 
haln ini, maka seorang sarjana mengatakan , berhasil tidaknya tugas-tugas daerah sangat tergantung pada kepala daerah seabagi manager daerah yang berangkutan. Tugas kepala daerah sangat berat. Sebagai alat daerah, tugasnya adalah :
1. Menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerinth daerah. 2. Mewakili daerahnya didalam dan diluar pengadilan. 3. Bersama-sama denag DPRD membuat anggran pendapatan dan belanja daerah serta peraturan daerah. 
 Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Kepentingan rakyat dapat diselenggarakan dengan baik apabila wakil rakyat mengetahui aspirasi mereka yang diwakili dan kemudian memiliki kemampuan untukmerumuskan secara jelas dan umum serta menentukan cara-cara pelaksanaan nya. Maka diperlukan pendidikan dan pengalaman karena pendidikan itu sangat penting, sebab: 1. Dapat memberikan pengetahuan yang luas dan mendalam tentang bidang yang dipilih atau yang dipelajari seseorang. 2. Melatih manusia untuk berpikir secara rasional dan menggunakan kecerdasan kearah yang tepat, melatih manusia menggunakan akalnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berpikir, menyatakan pendapat maupun bertindak. 3. Memberikan kemampuan dan keterampilan kepada manusia untuk merumuskan pikiran, pendapat yang hendak disampaikan kepada orang lain secara logis. Ketiga hal tersebut akan diperoleh anggota DPRD apabila mereka memperoleh pendidikan yang cukup. Ketiga hal tersebut sangat penting bagi mereka agar dapat menjalankan tugas nya dengan baik. 
 Partisipasi Masyarakat Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah juga tidak terlepas dari adanya partisipasi aktif anggota masyarakatnya. Masyarakat

18 
daerah, baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai individu, merupakan bagian integral yang sangat penting dari sistem pemerintah daerah. Masyarakat sendiri dapat berpartisipasi pada beberapa tahap, terutama dalam pembangunan, yakni: pada tahap inisiasi, legitimasi, eksekusi. Atau dengan kata lain pada tahap seperti yang dirumuskan oleh Bintoro Tjokroamidjodjo: “Pertama keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat tersebut dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijakan . . . Kedua adalah keterlibatan dalam memikul hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan Dari pendapat yang ada tersebut dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dapat terjadi pada empat jenjang: 1. Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan 2. Partisipasi dalam pelaksanaan 3. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil 4. Partisipasi dalam evaluasi 
Faktor Keuangan Daerah Salah satu criteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan Daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self- supporting dalam bidang keuangan.Ini berarti dalam penyelenggaraan, urusan rumah-tangganya, Daerah membutuhkan dana atau uang. Menurut Wajong, uang adalah: 1. Alat untuk mengukur harga barang dan harga jasa; 2. Alat untuk menukar barang dan jasa; 3. Alat penabung. 
Sampai saat ini, sumber-sumber pendapatan asli Daerah terdiri dari: 1. Pajak Daerah 2. Retribusi Daerah

19 
3. Perusahaan Daerah 4. Pendapatan Daerah lainnya.  
Faktor Peralatan Faktor peralatan ini juga tergolong penting dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan aktivitas pemerintahan Daerah.dalam pengrtian ini, peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar atau mempermudah pekerjaan atau gerak aktivitas Pemerintah Daerah. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia alat dirumuskan sebagai: 1. Barang yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu; 2. Barang sesuatu yang dipakai untuk mencapai suatu maksud; 3. Orang yang dipakai untuk mencapai suatu maksud. Peralatan yang dimaksudkan di sini tidak termasuk manusia, karena manusia menurut hemat penulis merupakan komponen tersendiri yang menduduki posisi sentral dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Untuk dapat memperlancar daya kerja Pemerintah Daerah, maka diperlukan adanya peralatan yang baik dalam arti cukup dalam jumlah yang efisien, efektif, serta praktis dalam penggunaan nya. Peralatan yang dimiliki atau dipergunakan di samping harus cukup secara kuantitas, juga harus efisien. Untuk dapat disebut efisien, maka penggunaan peralatan dari sudut output (hasil yang dikeluarkannya) haruslah maksimal. Atau dapat juga disebutkan, suatu alat disebut efisien apabila penggunaannya tidak membuang-buang energi dan waktu (tidak boros) dan tepat untuk suatu tujuan. Semakin efisien peralatan yang dimiliki, akan semakin memperlancar dan mempermudah mekanisme kerja roda pemerintahan. Daerah dan dengan demikian akan mempercepat usaha pencapaian tujuan. Sebaliknya, semakin menyulitkan daerah-daerah dalam menyelenggarakan segala aktifitasnya. Dan karena itu, semakin menjauhkan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dari cita-citanya. Dalam pengelolaan peralatan Daerah ini, maka tugas pokok yang harus dilaksanakan, disamping pengadaan adalah: 1. Penelitian dan penentuan kebutuhan;

20 
2. Penggudangan 3. Inventarisasi pembukuan; 4. Penyaluran/distribusi 5. Tata-ruang 6. Pemeliharaan 7. Standarlisasi 8. Penyusunan/penghapusan dari daftar inventarisasi. 
Faktor Organisasi dan Manajemen Faktor  keempat yang mempengaruhi pelaksanaan Otonomi Daerah adalah faktor organisasi dan manajemen. Agar pelaksanaan otonomi Daerah dapat berjalan baik, dalam arti Daerah-daerah dapat/mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri-sendiri , maka diperlukan adanya organisasi dan manajemen yang baik pula. Ditinjau dari tujuannya, organisasi dapat dirumuskan sebagai, “ . . . a system of actions” atau sebagai “system kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama”. Sedangkan ditinjau dari segi strukturnya, organisasi dapat dirumuskan sebagai susunan yang terdiri dari satuan-satuan organisasi beserta segenap pejabat, kekuasaan, tugas, dan hubungan-hubungan satu sama lain dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Dengan meneliti tidak kurang dari 46 definisi organisasi yang pernah dikemukakan para ahli, Sutarto mengambil kesimpulan sebagai berikut, “organisasi adalah system saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu”. Dari pengertian-pengertian di atas, maka dapat diketahui unsure-unsur organisasi adalah sebagai berikut ini: 1. Adanya sekelompok orang mempunyai   2. tujuan bersama, yang hanya dapat diselenggarakan dengan 3. kerja sama atau usaha bersama antara anggota-anggota kelompok itu; supaya kerja sama berjalan dengan baik, teratur, maka diadakanlah

21 
4. pembagian kerja dibawah 5. suatu pimpinan. Kata “Organisasi” mengacu pada dua pengertian umum, yakni lembaga, wadah atau kelompok fungsi dan yang kedua proses pengorganisasian, yakni sebagai cara di mana kegiatan-kegiatan organisasi dialokasikan dan ditugaskan di antara para anggotanya agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan efisien. Pengorganisasian merupakan aspek administrasi yang mendukung pelaksanaan rencana, terutama karena salah-satu tugas pokok pengorganisasian adalah menyelesaikan orang-orang yang akan melaksanakan rencana. 
SEBAB AKIBAT DARI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Disaat kondisi bangsa tengah kacau dan tidak terbaca kemana arahnya, otonomi adalah suatu gagasan yang sudah dikenal publik. Untuk mencegah terjadinya perpecahan sosial, maka otonomi daerah adalah salah satu pilihannya. Yang memungkinkan untuk meningkatkan keadilan sosial serta pembagian kekuasaan secara tepat di ranah pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten dan kota. Hal tersehut sebagai ketentuan kebijakan umum, penguasaan aset ekonomi dan politik, serta dengan peraturan sumber daya lokal. Secara politik, otonomi daerah adalah sarana bijak dan tepat dalam memelihara keutuhan suatu bangsa, menjauhkan daerah-daerah dari ketidakpuasan sosial. Maka, otonomi daerah kembali memperkuat ikatan semangat kebangsaan, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dari banyaknya wacana yang ada, muncul bermacam-macam permasalahan yang mengharuskan otonomi daerah harus segera disahkan dan dilaksanakan. Otonomi daerah hadir sebagai kewajiban untuk suatu daerah yang meresmikan diri, memberikan kewenangan dalam mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya dengan perundang-undangan. Yakni menurut aspirasi masyarakat dalam meningkatkan daya guna serta hasil atas penyelenggaraan pemerintah terhadap pelayanan-pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Selain berlandaskan hukum, otonomi daerah ditetapkan sebagai penerapan tuntutan globalisasi yang harus dilaksanakan dengan cara memberi wewenang

22 
kepada suatu daerah secara luas, bertanggung jawab saat mengatur pemerintahan dan kepentingan umum dalam memanfaatkan atau menggali potensi-potensi yang ada di dalamnya. Namun, dari banyaknya harapan indah atas kebijakan otonomi daerah, bukan berarti peraturan yang sudah ditetapkan oleh UU ini lantas luput dari permasalahan. Terdapat otak dan tangan nakal yang membuat otonomi daerah berjalan tidak semestinya, tentu saja hal ini dapat merugikan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, otonomi daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya yakni :  kemampuan para pelaksana  kemampuan dalam hal keuangan  ketersediaan keuangan  alat dan bahan untuk melaksanakan suatu kegiatan atau aturan  kemampuan untuk berorganisasi.
Dari banyaknya faktor yang harus diajalankan, maka dalam penerapan otonomi daerah tidak lagi hanya melahirkan solusi bijak dan target-target panjang guna mengembangkan daerah berdasarkan keinginan masyarakat. Karena saat sudah dikenalkan atau dipraktekkan ke lapangan, banyak permasalahan yang timbul. Menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak lepas dari kendala, kekurangan, dan penyelewengan. Kesalahan-kesalahan tersebut harus segera dievaluasi dengan jelas, diluruskan kebenarannya, dan melanjutkan kesempurnaan tujuan. Salah satu akibat dari peraturan tersebut adalah adanya kemiskinan yang terjadi pada masyarakat begitu memprihatinkan. Alih-alih mempergunakan wewenang dalam pembangunan daerah sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang sentralistik. Namun disatu sisi, penggalian potensi daerah terus digencarkan dengan dalih pemerataan pembangunan. Meskipun dalam hal ini, pemerintah masih mengupayakan cara penyelesaiannya. Maka, terdapat beberapa akibat buruk dari kebijakan otonomi daerah yang saat ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat luas. 1. Pemekaran Wilayah

23 
Keinginan pemerintah dan masyarakat di daerah dalam memperluas area jangkauan potensi, dengan tujuan untuk memakmurkan kebutuhan hidup masyarakat. Hal ini menimbulkan persoalan karena kepentingan elit daerah lebih mendominasi, tidak mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan. Karena seharusnya keputusan desain tersebut harus melalui pertimbangan utama dari pemerintah pusat. 2. Anggaran Pemerintah yang sudah pandai memanfaatkan potensi dari alam dan masyarakat di daerahnya, akan memiliki banyak hasil yang semestinya dipergunakan untuk kepentingan masyarakatnya pula. Namun yang terjadi adalah, keuangan daerah tidak dapat mencukupi kebutuhan sehingga menghambat proses pembangunan daerah, selain karena pemerintah daerah masih lemah dalam menarik investasi di daerahnya. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah mengenai susunan APBD. Yang jelas,  bagi banyak orang, hal ini amatlah merugikan rakyat. Dalam konsep otonomi daerah, paradigma menjalankan anggaran telah bergeser pada hal yang disebut dengan anggaran partisipatif. Pada pengerjaannya, daftar keinginan masyarakat kepada pemerintah selalu bertabrakan dengan kepentingan "orang elit". Maka, menjadi cermin bahwa kepentingan elit dalam membelanjakan uang pemerintah daerah lebih besar daripada kepentingan masyarakat. 3. Politik Identitas Diri Otonomi daerah dibayang-bayangi konflik horizontal bernuansa etnis. Selama pelaksanaannya, menjadikan politik identitas diri semakin kuat mendorong suatu daerah berusaha melepaskan diri dari induk pusat yang sudah menyatu sebelumnya. 4. Orientasi Kekuasaan Isu pergeseran kekuasaan dalam otonomi daerah lebih kental menayangkan kalangan elit daripada pergerakan nyata untuk melayani masyarakat secara efektif. Wewenang pemerintah ini diwarnai dengan percobaan pemanfaatan otonomi daerah sebagai saat yang tepat dalam meraih kepentingan berpolitik dengan cara

24 
pemberian fasilitas massanya, dan mengembangkan pendapat berlebih akan suatu daerah. Seperti halnya "Putra Daerah" saat pemilihan kepala daerah. 5. Pilkada Langsung Yang diatur oleh UUD adalah pemilihan langsung presiden. Maka menimbulkan persoalan saat pilkada secara langsung. Terjadinya pembengkakan biaya yang harus dikeluarkan dalam mensukseskan pilihan. Padahal dari sisi sosial masyarakat, banyak yang masih terjerat kemiskinan. Selain karena moral hazard mudah meluas akibat peredaran politik uang. Sehingga pilkada langsung tidak menjamin akan menghadiahkan pemimpin yang lebih baik daripada sebelumnya kepada masyarakat. 6. Lembaga Perwakilan Kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan dan minimnya kompetensi anggota DPRD, menjadikan kewenangan lembaga tersebut tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat. Imbasnya, meskipun kewenangan itu ada, nyatanya tidak memberi keuntungan bagi kepentingan masyarakat. Serta ikut campurnya DPRD dalam menentukan karir pegawai daerah. 7. Pelayanan Publik Rendahnya kompetensi PNS daerah dan absurdnya standar pelayanan yang diberikan, menyebabkan pelayanan publik tidak begitu memuaskan. Selain itu, rendahnya akuntabilitas pelayanan menjadikan pelayanan tidak prima, tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Ataupun, pemeintahan yang nemiliki banyan PNS namun kompetensinya tidak sebanyak jumlahnya. Dalam kata lain, pemerintah kekurangan PNS yang memiliki kualifikasi terbaik. Mengabaikan profesionalitas jabatan juga salah satu persoalan yang ada. Dimana terdapat gejala mengedepankan "Putra Asli Daerah" untuk menduduki jabatan strategis. 8. Kewenangan Yang Tumpang Tindih Masih terasa kental mengenai kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku. Baik antara aturan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah. Sehingga dalam hal ini, masih

25 
menjadi pekerjaan rumah untuk meletakkan wewenang. Apakah kewenangan tersebut  ada di kabupaten kota, atau popinsi. Maka, ketujuh elemen yang membentuk pemerintahan daerah adalah :  Kewenangan  Kelembagaan  Kepegawaian  Keuangan  Perwakilan  Manajemen Pelayanan Publik  Pengawasan
Sejauh berjalannya otonomi daerah, telah melahirkan dampak positif dan negatif dari berbagai segi.  Segi Ekonomi
(+)     Pemerintah daerah memberi wewenang kepada masyarakatnya untuk mengelola SDA. Jika dikelola dengan maksimal, akan menghasilkan pendapatan dan mnguntungkan kedua belah pihak. (-)     Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi daerah sebagai tatanan pemerintahan lokal, karena memiliki dinamika sosial budaya sendiri. Menjadi ketergantungan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, mematikanbl kreasi dan inisiatif lokal. Membuka peluang besar bagi pejabat tak bertanggung jawab untuk melalukan praktek KKN.  Segi Sosial Budaya
(+)     Memperkuat ikatan sosial budaya pada suatu daerah. Mengembangkan kebudayaan yang dimiliki daerah tersebut. (-)   Menimbulkan kompetisi yang tidak sehat antar daerah. Merasa kebudayaannya adalah kebudayaan yang paling baik daripada yang lainnya.

26 
 Segi Keamanan Politik (+)     Suatu upaya mempertahankan kesatuan Indonesia dari ketidakpuasan suatu daerah terhadap sisten NKRI (-)      Berpotensi menyulut konflik antar daerah.  Segi Pandangan Umum
(+)    Pembangunan bagi daerah berpendapatan tinggi akan cepat berkembang. Biaya birokrasi lebih efisien. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan memberikan kebijakan tertentu. (-)   Daerah yang miskin akan sedikit lambat perkembangannya. Terjadi kesenjangan sosial karena kewenangan dari pemerintah pusat terkadang bukan lada tempatnya. Merasa melaksanakan kegiatannya sendiri (tanpa ada campur tangan dari pemerintah pusat), sehingga para pemimpin menjadi lupa pada tanggung jawabnya.